Ada kejanggalan tersendiri ketika tiba-tiba Indonesia seperti dikepung teroris. Bagaimana mungkin kondisi negara yang akomodatif terhadap berbagai aktivitas keislaman tiba-tiba menjadi target pemboman atas nama Islam.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru dan dimulainya orde reformasi memperlihatkan keadaan politik negeri begitu kondusif terhadap berbagai kreativitas anak bangsa. Mulai dari ormas, parpol, dan berbagai bentuk LSM. Mulai dari yang paling kanan hingga yang paling kiri.
Mereka tumbuh seperti jamur di musim penghujan, dan kemudian tumbuh atau mati secara alamiah. Siapa yang mendapat sambutan positif di masyarakat akan berkembang, dan siapa yang ditolak masyarakat karena berbagai persoalan internal, akan tumbang dengan sendirinya. Saat ini, masyarakat Indonesia seperti terdewasakan dengan sendirinya.
Tapi, di tengah dinamika positif itu, negeri ini seperti dikejutkan dengan sebuah arus misterius yang bernama terorisme. Suatu arus yang belum pernah dikenal sebelum peledakan menara kembar World Trade Center di Amerika tahun 2001. Dan kasus itu pun sebenarnya tidak ‘matching’ dengan keadaan Indonesia yang mulai memasuki era ‘peradaban’ baru setelah dikungkung selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru.
Sayangnya, geliat bangkit negeri ini seperti dipaksa untuk beralih ke soal lain yang bernama terorisme sejak peledakan bom Bali tahun 2002, atau satu tahun bom WTC Amerika. Hingga kini, publik masih belum jelas soal bagaimana terdakwa teroris yang tergolong ‘biasa saja’ bisa membuat bom secanggih itu. Seperti pemboman di Bali tahun 2002, yang banyak membawa korban. Para pakar bom pun menilai kalau itu merupakan mikro nuklir.
Kasus-kasus terorisme berikutnya pun muncul seperti mengikuti pola-pola yang sudah ada. Dan dari semua kasus terorisme, benang merahnya menunjuk pada satu titik: radikalisme Islam. Benarkah?
Hal ini agak aneh karena era reformasi sama sekali tidak mengekang tampilnya berbagai gerakan dari yang kiri hingga yang kanan untuk memberikan andil untuk masyarakat. Bagaimana mungkin ada yang bergerak ‘diam-diam’ dalam kondisi yang sangat terbuka? Bagaimana mungkin ada yang ‘ingin perang’ padahal negeri ini baru saja ‘merdeka’ dari rezim otoriter?
Bandingkan dengan negeri muslim tetangga yang dari segi sosio kulturalnya tidak jauh beda, seperti Malaysia. Terorisme menjadi sangat tidak laku. Justru, warga Malaysialah yang dikaitkan dengan gembong terorisme di Indonesia. Apa sebenarnya yang menjadikan isu terorisme menjadi laris di Indonesia?
Benarkah kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, dan lalainya tokoh agama dalam melakukan pembinaan umat menjadi di antara sebab suburnya gerakan ‘aneh’ ini di Indonesia? Atau, ada sebab lain yang justru berasal dari luar umat Islam yang dikenal sangat ramah ini?
**
Redaksi mengucapkan terima kasih atas komentar dan saran dari pembaca budiman. Semoga bermanfaat untuk kita semua.