Assalamu’alaikum,
Langsung saja ustadz, apakah hakikat shalat yang khusyu itu dan bagaimana caranya agar kita dapat shalat dengan khusyu? Benarkah tanpa khusyu berarti shalat kita sia-sia? Terima kasih atas kesediaan ustadz menjawab pertanyaan saya.
wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di dalam surat Al-Mu’minun disebutkan beberapa ciri orang beriman. Salah satunya adalah apabila shalat, maka shalatnya itu khusyu’. Kutipannya sebagai berikut:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang di dalam shalatnya khusyu’. (QS. Al-Mu’minun: 1-2)
Apabila kita buka kitab tasfir untuk mengetahui apa latar belakang turunnya ayat ini, kita dapati bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahabat sebelumnya pernah melakukan gerakan tertentu di dalam shalatnya, lalu diarahkan agar tidak lagi melakukannya. Bentuk arahannya adalah menerapkan shalat yang khusyu’.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa dahulu Rasulullah SAW bila shalat mengarahkan pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat: yaitu orang yang di dalam shalatnya khusyu’. Maka beliau menundukkan pandangannya. (HR. Al-Hakim)
Ibnu Maradawaih meriwayatkan bahwa sebelumnya beliau SAW menoleh saat shalat. Saad bin Manshur dari Abi Sirin meriwayatkan secara mursal bahwa beliau SAW sebelumnya shalat dengan memejamkan mata, lalu turunlah ayat ini. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan mursal bahwa para shahabat dahulu pernah shalat dengan memandang ke langit. lalu turunlah ayat ini.
Lihat tafsir Al-Baidhawi halaman 451 dan Tasfir Al-Munir oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 18 halaman 10.
Khusyu’ Bukan Keluar dari Dunia Nyata
Dari tafsir tentang ayat khusyu’ di atas jelaslah bahwa taujih (arahan) rabbani dari Allah SWT tentang shalat khusyu’ bukan lantaran nabi SAW tidak melakukan kontemplasi dalam shalat, melainkan karena beliau dan para shahabat melakukan gerakan-gerakan yang dianggap tidak layak untuk dilakukan di dalam shalat. Seperti memandang ke langit, memejamkan mata atau menoleh ke kanan dan ke kiri.
Adapun masalah kontemplasi dan keterputusan hubungan saat shalat dengan dunia nyata, bukanlah hal yang dimaksud dengan khusyu’ itu sendiri.
Dan ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyu’ kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutupatautelinganya disumbat sehingga tidak meliaht atau mendengar apapun, agar konsentrasi.
Malah bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya.
Maka seorang yang shalat dengan khusyu’ bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, menutup telinga dan menutup diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyu’ itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.
Siapa sih orang yang paling khusyu’ shalatnya di dunia ini? Pasti kita sepakat menjawab bahwa nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu’ dalam shalat. Maka definisi dan standarisasi khusyu’ yang benar hanyalah semata-mata yang paling sesuai dengan shalat beliau.
Kita tidak dibenarkan untuk membuat definisi dan standar shalat khusyu’ sendiri menurut logika serta khayal kita. Sebab nanti akan muncul ribuan bahkan jutaan definisi shalat khusyu’ yang sangat beragam, bahkan satu dengan lainnya saling bertolak-belakang.
Padahal satu-satunya rujukan dalam masalah shalat hanyalah apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau tegaskan lagi dengan sabdanya, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Maka gambaran shalat khusyu’ itu perlu kita pahami secara lebih luas, tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang selama ini umumnya dipahami orang. Sebab kenyataannya begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat dengan berbagai keadaan, di antaranya:
- Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong bayi
- Rasulullah SAW pernah memperlama sujudnya, karena ada cucunya yang naik ke atas punggungnya
- Rasulullah SAW pernah mempercepat shalatnya saat menjadi imam, hanya lantaran beliau mendengar ada anak kecil menangis
- Rasulullah SAW memerintahkan orang yang shalat untuk mencegah seseorang lewat di depannya, bahkan menghalanginya.
- Rasulullah SAW pernah memerintahkan orang yang shalat untuk membunuh ular serta hewan liar lainnya.
- Rasulullah SAW saat menjadi imam pernah lupa gerakan shalat tertentu, bahkan salah menetapkan jumlah bilangan rakaat, sehingga beliau melakukan sujud sahwi.
- Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan
- Rasululah SAW mengajarkan shalat khauf dengan berjamaah yang gerakannya sangat unik dan jauh dari kesan khusyu’
- Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas kendaraan (hewan tunggangan/ unta) yang berjalan, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, beliau membiarkan tunggangannya menghadap kemana pun
- Rasulullah SAW pernah memindahkan tubuh atau kaki isterinya saat sedang shalat karena dianggap menghalangi tempat shalatnya
- Rasulullah SAW mengajarkan orang yang shalat untuk menjawab salam dengan isyarat
Dengan semua fakta di atas, masihkah kita akan mengatakan bahwa shalat khusyu’ itu harus selalu berupa kontemplasi ritual tertentu? Haruskah shalat khusyu’ itu membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata menuju alam ghaib tertentu, lalu bertemu Allah SWT seolah pergi menuju sidratil muntaha bermikraj? Benarkah shalat khusyu’ itu harus membuat seseorang tidak ingat apa-apa di dalam benaknya, kecuali hanya ada wujud Allah saja? Benarkah shalat khusyu’ itu harus membuat seseorang bersatu kepada Allah SWT?
Kalau kita kaitkan dengan realita dan fakta shalat nabi SAW sendiri, tentu semua asumsi itu menjadi tidak relevan, sebab nabi yang memang tugasnya mengajarkan kita untuk shalat, ternyata shalatnya tidak seperti yang dibayangkan.
Beliau tidak pernah ‘kehilangan ingatan’ saat shalat. Beliau tidak pernah memanjangkan shalat saat jadi imam shalat berjamaah, kecuali barangkali hanya pada shalat shubuh, karena fadhilahnya.
Kalaupun diriwayatkan beliau pernah shalat sampai bengkak kakinya, maka itu bukan shalat wajib, melainkan shalat sunnah. Dan panjangnya shalat beliau bukan karena beliau asyik ‘meninggalkan alam nyata’ lantaran berkontemplasi, namun karena beliau membaca ayat-ayat Al-Quran dengan jumlah lumayan banyak. Tentunya dengan fasih dan tartil, sebagaimana yang Jibril ajarkan.
Bahkan beliau pernah membaca surat Al-Baqarah (286 ayat), surat Ali Imran (200 ayat) dan An-Nisa (176ayat) hanya dalam satu rakaat. Untuk bisa membaca ayat Quran sebanyak itu, tentu seseorang harus ingat dan hafal apa yang dibaca, serta tentunya memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam tiap ayat itu. Kalau yang membacanya sibuk ‘berkontemplasi dengan dunia ghaib’, maka tidak mungkin bisa membaca ayat sebanyak itu.
Maka shalat khusyu’ itu adalah shalat yang mengikuti nabi SAW, baik dalam sifat, rukun, aturan, cara, serta semua gerakan dan bacaannya. Bagaimana nabi SAW melakukan shalat, maka itulah shalat khusyu’.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.