Assalamu`laikum..
Saya bingung ketika seorang jama`ah haji menanyakan, bolehkah menjama` sholat ashar ketika kita dalam keadaan darurat (macet ) dan berhadast, sedangkan jarak perjalanannya tidak jauh misalnya, dari MINA ke Makkah?
Lalu saya menjawab, hal tersebut boleh-boleh saja karena sholat merupakan suatu kewajiban. Dan saya menambahkan sedikit hadist (الضرورةتبيح المحظورات).
Apakah itu bisa dijadikan suatu dalil? Apakah ada dalil-dalil yang lebih sesuai?
Kalau tidak keberatan saya ingin menanyakan apakah antum alumni al-azhar?
Sekian dan terimakasih…
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dari sekian banyak dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah serta beragam metode ijtihad, para ulama menyusun aturan dan ketentuan shalat jama’. Ketentuan ini disusun untuk memudahkan umat dalam memahami bagaimana dan kapan shalat jama’ itu boleh dilakukan atau sebaliknya.
Hal-hal Yang Membolehkan Jama’
1. Sebab Safar
Menjama’ shalat dibolehkan bila seseorang berada dalam keadaan safar (perjalanan).
Namun para ulama menetapkan bahwa sebuah safar itu minimal harus menempuh jarak tertentu dan ke luar kota. Di masa Rasulullah SAW, jarak itu adalah 2 marhalah. Satu marhalah adalah jarak yang umumnya ditempuh oleh orang berjalan kaki atau naik kuda selamasatu hari. Jadi jarak 2 marhalah adalah jarak yang ditempuh dalam 2 hari perjalanan.
Ukuran marhalah ini sangat dikenaldi masa itu, sehingga dapat dijadikan ukuran jarak suatu perjalanan. Orang arab biasa melakukan perjalanan siang hari, yaitu dari pagi hingga tengah hari. Setelah itu mereka berhenti atau beristirahat.
Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini sesuai dengan ukuran jarak yang dikenal di zaman mereka masing-masing. Misalnya, di suatu zaman disebut dengan ukuran burud, sehingga jarak itu menjadi 4 burud. Di tempat lain disebut dengan ukuran farsakh, sehingga jarak itu menjadi 16 farsakh.
Di zaman sekarang ini, ketika jarak itu dikonversikan, para ulama mendapatkan hasil bahwa jarak 2 marhalah itu adalah 89 km atau tepatnya 88, 704 km.
Maka tidak semua perjalanan bisa membolehkan shalat jama’, hanya yang jaraknya minimal 88, 704 km saja yang membolehkan. Bila jaraknya kurang dari itu, belum dibenarkan untuk menjama’.
Namun dalam prakteknya, bukan berarti jarak itu adalah jarak minimal yang harus sudah ditempuh, melainkan jarak minimal yang akan ditempuh. Berarti, siapa pun yang berniat akan melakukan perjalanan yang jaraknya akan mencapai jarak itu, sudah boleh melakukan shalat jama’, asalkan sudah keluar dari kota tempat tinggalnya.
2. Sebab Hujan
Kita juga menemukan dalil-dalil yang terkait dengan hujan. Di mana turunnya hujan ternyatamembolehkan dijama’nya Mahgrib dan Isya’ di waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil
إن من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء – رواه الأثرم
Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya’ (HR Atsram).
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata, ”Mungkin”. (HR Bukhari 543 dan Muslim 705).
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata, ”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR Muslim 705).
3. Sebab Sakit
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi:
كان النبي ص جمع من غير خوف ولا مطر
Bahwa Rasulullah SAW menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
4. Sebab Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah.Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR Bukhari 1674).
5. Sebab Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.(HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
Menjama’ Shalat Karena Macet
Kita yang hidup di tengah belantara metropolitan ini seringkali disulitkan dengan urusan macet, khususnya masalah waktu shalat maghrib. Sedangkan shalat Dzhur, Ashar, Isya dan Shubuh relatif tidak terlalu berpengaruh karena waktunya leluasa.
Yang paling mengkhawatirkan adalah shalat Maghrib yang waktunya sangat singkat. Padahal jam-jam seperti itu adalah jam macet di mana-mana. Sehingga banyak orang yang berpikiran bahwa macet itu ‘boleh’ dijadikan alasan untuk menjama’ shalat.
Tetapi apa dalilnya? Bisakah dalil darurat dijadikan alasan? Dan seberapakah nilaidarurat sebuah kemacetan itu sehingga boleh menggeser waktu shalat? Adakah dalil yang shahih dan sharih dari Rasulllah SAW yang membolehkan jama lantaran macet?
Jawabannya tentu tidak ada. Tidak ada hadits yang bunyinya bila kalian kena macet, maka silahkan menjama’ shalat.
Lalu apakah kondisi macet sesuai dengan salah satu penyebab di atas? Misalnya dengan urusan safar, hujan, sakit, haji atau keperluan mendesak?
Kalau dikaitkan dengan safat, maka macet yang sering kita alami tidak memenuhi syarat, karena dari segi jarak tidak memenuhi standar minimal. Kalau dikaitkan dengan keperluan mendesak, di sana ada syarat bahwa hal itu tidak boleh terjadi tiap hari. Dan yang namanya darurat itu tidak boleh terjadi sepanjang waktu.
Bukankah kita masih bisa turun dari bus atau mobil untuk shalat di mana pun? Bukankah shalat itu tidak harus di dalam sebuah masjid atau musholla? Bukankah kalau tidak ada air kita masih diperbolehkan bertayamum? Bukankah air tersedia di mana-mana, bahkan para penjual air minum kemasan pun berkeliaran saat macet?
Maka kaidah fiqhiyah yang anda sampaikan itu masih ada pasangannya, yaitu:
الضرورة تقدر بقدرها
Sesuatu yang dharurat itu diukur berdasarkan kadarnya
Terakhir, kami bukan alumni Al-Azhar namun alumni Jami’ah Al-Imam Muhammad ibnu Su’ud Al-Islamiyah, yang bermarkas di ibukota Riyadh Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Su’udiyah. Universitas itu punya cabang di berbagai belahan dunia, salah satunya di Jakarta. Di sini lembaga itu bernama LIPIA dan anda bisa menengok kampus kami di www.lipia.org
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc