Apakah ada perbedaan ulama mengenai jumlah rukun shalat?
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Benar sekali bahwa para ulama berbeda pendapat ketika menetapkan apa saja yang menjadi rukun shalat. Kalau kita lakukan studi komparasi antara 4 mazhab yang termasyhur, kita akan mendapatkan tabel rukun shalat seperti berikut ini.
Sumber: Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaily
Dari tabel ini bisa kita simpulkan bahwa mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang paling sedikit dalam menetapkan jumlah rukun shalat. Yaitu hanya 6 perkara saja. Sebaliknya, mazhab Malik menduduki tempat tertinggi dalam jumlah rukun, yaitu 14 perkara.
Penyebab Perbedaan
1. Perbedan dalam Meriyawatkan Hadits
Sebagian dari penyebab perbedaan itu karena perbedaan mereka dalam menshahihkan suatu dalil hadits. Misalnya ulama A mengatakan sebuah hadits itu shahih, namun ulama B mengatakan kurang shahih. Perlu diketahui bahwa keempat pendiri mazhab besar itu hidup jauh sebelum era imam Bukhari, imam Muslim dan para muhadditsin lainnya.
Imam Abu Hanifah misalnya, beliau lahir tahun 80 hijriyah dan wafat tahun 150 hijriyah. Beliau dianggap oleh sementara peneliti sebagai tabi’in, karena pernah bertemu dengan shahabat nabi, Anas bin Malik. dan meriwayatkan hadis terkenal, ”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." Imam Malik lahir tahun tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 H dan wafat tahun 204 H. Sedangkan imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 H dan wafat tahun 241 H.
Sedangkan era muhadditsin itu baru dimulai setelah lewatnya hidup para ulama pendiri mazhab itu. Namun sesungguhnya para imam mazhab itu juga muhaddits yang ahli dalam meriwayatkan dan mengkritik hadits. Sebaliknya, para muhaddits umumnya tidak lantas menjadi ahli fiqih, sehingga mereka tidak menjadi rujukan dalam mengistimbath suatu hukum.
Baik di kalangan ahli fiqih (ulama mazhab) maupun ahli hadits (ulama hadits), apa yang dishahihkan oleh sebagian dari mereka, belum tentu dishahihkan oleh yang lainnya di antara mereka.
2. Perbedaan dalam Mengistimbath Dalil
Penyebab lain adalah karena para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum yang didapat dari suatu dalil. Misalnya, ulama A mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, namun yang lain berangapan bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW itu sebagai anjuran saja, bukan kewajiban.
3. Perbedaan dalam Menetapkan Nasakh dan Mansukh
Di dalam ilmu syariah kita mengenal masalah nasakh dan mansukh. Pengertiannya bahwa suatu hukum yang diturunkan sebelumnya melalui suatu dalil syar’i, bisa saja dibatalkan dan diganti hukumnya dengan dalil syar’i yang turun kemudian.
Ketika menetapkan mana hukum yang dinasakh dan mana yang tidak, ternyata para ulama memiliki analisa yang berbeda-beda. Sehingga menghasilkan kesimpulan yang yang tentu berbeda juga.
4. Perbedaan Penggunaan Istilah
Sebagian ulama menggunakan istilah fiqih yang seragam. Namun ada sebagain lainnya yang tidak seragam. Sehingga ketika mereka menyebut dua hukum yang berbeda, bisa jadi maksudnya sama. Dan sebalikya, boleh jadi mereka menyebut hukum yang sama, namun pengertiannya berbeda.
Dan perbedaan ini amat lazim di dalam dunia fiqih. Meski terasa sedikit membingungkan buat mereka yang agak kurang mendalaminya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.