Ustadz tolong jelaskan hal-hal berikut:
1. Bagaimana hukumnya bermakmum kepada imam yang bacaan Qur’annya lebih buruk (kurang fasih, makhroj dan tajwidnya) dari kita. Apakah kita harus mufaroqoh jika tidak tahu sebelumnya?
2. Bagaimana hukumnya qunut pada sholat shubuh. Bolehkah kita terus melakukan setiap sholat subuh seperti yang diajarkan oleh madzhab Syafi’i?
3. Bolehkan kita memegang atau membawa qur’an terjemah dalam tas, sedangkan kita dalam keadaan hadats kecil (tidak berwudhu’)?
Sukron katsiro…! Jazakumullah.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seharusnya imam shalat itu orang yang fasih bacaannya. Sebab bacaan imam menjadi bacaan untuk makmum, meski hal ini merupakan perbedaan pendapat di kalanga ulama.
Tetapi dalam banyak hal, posisi imam menanggung bacaan makmum tidak bisa dihindari. Misalnya pada saat seorang makmum ikut shalat jamaah, di mana imam sedang dalam keadaan ruku’, maka makmum itu tidak perlu baca surat Al-Fatihah lagi dan langsung ikut ruku’. Padahal baca Al-Fatihah merupakan rukup shalat, namun makmum tidak membacanya tapi dia terhitung mendapat satu rakaat. Bagaimana bisa demikian?
Jawabnya adalah bahwa dalam banyak kasus, mau tidak mau imam memang harus menanggung bacaan makmum.
Lalu bagaimana bila bacaan imam tidak benar atau tidak fasih?
Ini tentu merupakan problematikan tersendiri. Karena kriteria fasih dan tidak fasih itu bisa jadi berbeda-beda antara tiap-tiap orang. Kalau ukurannya adalah para qari’ yang punya sanad bacaan hingga ke level Rasulullah SAW, sangat boleh jadi begitu banyak shalat jamaah yang tidak sah. Lantaran bacaan kebanyakan imam salah dan rusak, kalau dilihat dari penilaian qiraat yang ketat.
Contoh lain kalau kita shalat di belakang imam di negeri-negeri minorita muslim, seperti RRC atau Eropa Timur dan negeri lainnya. Kita akan merasa aneh dengan logat bacaan mereka. Apakah ini merusak shalat? Tentu para ulama akan berbeda pendapat.
Akan tetapi ada satu prinsip yang bisa kita jadikan patokan, terutama dalam masalah shalat berjamaah. Yaitu selama seseorang sah melakukan shalat, maka bermakmum kepadanya pun sah juga. Ini adalah pendapat yang paling ringan, tetapi dalam banyak kasus sulit untuk ditolak. Terutama dalam kasus seperti yang anda ajukan.
Kalau kita terjebak dengan urusan kefasihan bacaan imam, lalu kita membuat alternatif untuk mufaraqah (berpisah dari jamaah), boleh jadi hampir tiap kali kita shalat berjamaah, kita akan melakukannya. Sebab standar bacaan fasih yang kita pahami bisa jadi berbeda dengan apa yang dipahami oleh imam tersebut.
Qunut Shalat Shubuh
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bukan sunnah. Bahkan Imam Malik mengatakannya bid’ah yang haram dilakukan. Namun sebagian ulama lainnya, seperti Asy-Syafi’i dan ulama mazhabnya, dengan argumentasi yang sulit dipatahkan begitu saja, sepakat menyunnahkannya. Bahkan termasuk sunnah ab’adh, yang bila ditinggalkan, harus melakukan sujud sahwi.
Ulama sekaliber Asy-Syafi’i bukan orang bodoh. Beliau adalah peletak dasar ilmu ushul fiqih yang menjadi dasar bagi semua ulama fiqih. Beliau juga seorang muhaddits yang diakui oleh semua ulama.
Meski barangkali kita tidak setuju dengan pendapat beliau, bukan berarti pendapat itu pasti salah. Sebab kesimpulan beliau -kalau mau kita teliti lebih detail- telah dilakukan dengan sangat teliti, cermat dan sangat memenuhi kaidah ilmiyah. Sulit buat kita untuk mematahkan begitu saja argumentasinya.
Menyentuh Mushaf tanpa Wudhu’
Kebanyakan ulama hanya mensyaratkan suci dari hadats besar untuk menyentuh mushaf. Sedangkan hadats kecil tidak terlalu menjadi syarat bagi mereka.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.