Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz pernah menerangkan bahwa salah satu syarat boleh menjama’ sholat adalah jika sudah di luar kota. Saya mohon penjelasan definisi kota menurut syariah sehubungan dengan syarat boleh menjama’. Apakah kota itu berdasarkan wilayah administrasi atau berdasar suatu kawasan yang dihuni manusia?
Jika berdasar wilayah admistrasi maka Jakarta Pusat/Utara/Timur/Selatan merupakan luar kota bagi penghuni Jakarta Barat karena berbeda kotamadya. demikian juga bila berada di Bekasi, Depok, dan Tangerang.
Jika berdasar suatu kawasan maka orang-orang di Kalimantan/Sulawesi/Papua yang bepergian dari satu kecamatan ke kecamatan lain walau masih dalam satu kabupaten boleh menjama’ sholat karena jaraknya melebihi 80-an km.
Mohon penjelasan ustadz, terimakasih, jazakumulloh
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perkara ini memang sangat mengundang banyak perdebatan. Sebab definisi kota di masa lalu dengan di masa sekarang pasti sangat berbeda. Demikian juga dengan sistem tata kota yang berlaku di tiap wilayah dan setiap zaman, biasanya memang saling berbeda dan terus mengalami perubahan.
Namun kalau kita kembalikan kepada ashalah di masa lalu, pengertian safar adalah perjalanan ke luar kota. Maksudnya seseorang bepergian ke kota lain dengan meninggalkan batas kota. Dan yang dimaksud dengan kota di masa lalu adalah sebuah wilayah yang dihuni manusia dan menjadi satu komunitas, di mana kota itu terpisah dengan kota lainnya. Meski kalau diukur dengan zaman sekarang, batas-batasnya pasti sudah mengalami perubahan. Pembedaan satu kota dengan kota lain secara administratif selalu berubah.
Batas Kota yang Terus Berubah
Setiap kota pasti mengalami perluasan wilayah. Dan batas kotanya pun secara otomatis akan bertambah luas. Sebagai contoh, konon luas kota Madinah di masa kenabian hanya seluas masjid Nabawi sekarang ini saja. Biasa kita bayangkan luas kota itu yang sangat sempit bila kita ukur dengan zaman sekarang.
Tetapi rasanyaakan aneh kalau kita menetapkan batas luar kota Madinah di masa sekarang ini dengan berpatokan pada batas-batas yang berlaku di masa Rasulullah SAW. Sebab di masa sekarang ini, batas kota Madinah bukanlah pagar masjid Nabawi.
Apakah kita akan mengatakan bahwa penduduk Madinah yang tinggal di utara masjid Nabawi di Madinah, boleh menjamak shalat bila pergi ke rumah tetangganya yang ada di selatan masjid? Tentu saja tidak.
Demikian juga dengan kota Jakarta. Di abad 17 meski kota Jakarta sudah berdiri, namun belum dikenal pembagian berdasarkan kotamadya. Bahkan luas Jakarta saat itu belum sampai ke wilayah monas. Perumahan elite daerah menteng di masa itu seolah wilayah yang ada di luar kota.
Sementara sekarang ini, batas kota Jakarta sudah semakin meluas, bahkan boleh dibilang nyaris bersambung dengan kota-kota di sekitarnya, seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Tentu saja batas kotanya mengalami perubahan.
Kota Jakarta sendiri secara administrasi dipilah berdasarkan wilayah, Utara, Barat, Timur, Selatan, Pusat dan Kepulauan Seribu.
Tapi, apakah kita akan mengatakan kepada warga Jakarta yang tinggal di Jakarta Pusat untuk menjamak shalat bila masuk ke Jakarta Utara? Tentu saja tidak, karena kuranglazim. Sebab pada dasarnya Jakarta adalah satu kota, meski sekarang ini ada pembagian wilayah secara struktur kepemerintahan. Namun secara nalar sehat, rasanya masih kurang pas bila seseorang menjamak shalat karena naik busway dari halte monas ke blok M.
Bahkan bus kota yang di kota Jakarta tidak bertuliskan bus antar kota, meski trayeknya antara Pulogadung ke Grogol. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa bus itu melewati tiga kota, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Orang hanya menyebut bus itu adalah bus kota, karena beroperasi hanya di dalam satu kota, yaitu Jakarta.
Wallau a’lam bishshwab, wasssalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.