Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya bekerja sebagai operator warnet, dan warnet saya buka 24 jam, dan dibagi menjadi 3 shift per hari, jadi 8 jam satu shift-nya:
Shift 1: dari jam 00:00 – 08:00
Shift 2: dari jam 08:00 – 16:00
Shift 3: dari jam 16:00 – 00:00
Ketiganya saya ada hari tertentu. Terlihat dari pembagian jam itu, tiap shift mengorbankan 2 waktu sholat wajib kita, kecuali shift 1 yaitu hanya shalat subuh.
Tiap shift cuma 1 operator yang jaga, misalnya cuma saya sendiri.
Saya bekerja dengan cara mensiasati membawa teman untuk jaga warnet, dan bila waktu sholat tiba saya minta waktu untuk sebentar digantikan, dan nanti kita gantian.
Tapi hal itu tidak bisa saya lakukan terus-menerus, ada kalanya saya harus sendiri dan mau tidak mau harus fulltime 8 jam untuk jaga warnet, dan hampir tidak ada waktu untuk sholat karena keluar masuknya pemakai warnet (user). Bila keadaan seperti ini saya hanya bisa 1 cara yaitu menjamak sholat saya.
Yang saya tanyakan:
1. Bagaimana cara lain pemecahannya?
2. Apakah sholatnya boleh untuk dijamak?
3. Bagaimana niatnya?
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebaiknya anda tidak menjamak shalat, apalagi karena hal itu terus menerus terjadi secara rutin. Untuk dibolehkan menjama’ ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Tapi kesibukan kerja sistem shift ini bukan termasuk alasan dibolehkannya menjama’ shalat.
Sebenarnya shalat itu bukan ibadah yang susah dilakukan. Tidak memerlukan tempat khusus, bahkan tidak ada pakaian khusus untuk shalat. Di mana saja di muka bumi ini adalah tempat untuk shalat. Bahkan saat tidak ada air untuk wudhu’, kita masih bisa bersuci dengan menggunakan tanah (tayammum).
Bahkan orang yang tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya, tetap masih bisa shalat dengan duduk. Dan yang tidak mampu duduk, bisa shalat sambil berbaring. Yang sama sekali tidak bisa menggerakkan badan, bisa dengan kedipan mata saja.
Pendeknya, tidak ada satu pun alasan di dunia ini di mana seseorang bisa tidak shalat, kecuali bila memang secara tegas disebutkan larangan oleh Rasulullah SAW. Misalnya, wanita yang mendapat haidh atau nifas, secara tegas memang dilarang syariah untuk shalat. Sedangkan alasan sakit, perjalanan, hujan atau lainnya, dbolehkan untuk menjama’ tapi tidak boleh ditinggalkan.
Bahkan dalam keadaan perang yang urusannya antara hidup dan mati, shalat tetap wajib. Bahkan nabi mencontohkannya dengan berjamaah. Shalat itu cukup aneh karena unik dan khas. Namanya shalat Khauf.
Shalat pun tidak membutuhkan waktu lama bila dikerjakan secara standar minimal (minimal requirement), paling-paling hanya 2 atau 3 menit saja. Waktu selama itu sebanding sekali dengan anda buang air kecil ke WC. Tidakkah selama 8 jam itu anda punya kesempatan untuk sekedar buang air kecil?
Padahal untuk bisa shalat secara sah, anda bahkan tidak perlu beranjak dari tempat kerja anda. Bagaimana wudhu’nya? Cukup segelas air mineral yang sudah pasti tersedia di meja anda, bisa anda gunakan untuk wudhu’.
Bolehkah tidak pakai sajadah, sarung, kopiah, atau alas? Sangat boleh jawabnya. Bahkan masjid Nabawi di Madinah dahulu lantainya hanya pasir danatapnya pelepah kurma. Kalau orang masuk, tidak perlu buka sendal atau sepatu. Cukup dikeset-kesetkan di tanah sebelum masuk. Dan itu artinya, tidak wajib pakai alas untuk sekedar boleh shalat. shalat boleh dilakukan di lantai, marmer, ubin, keramik, tanah, pasir atau apapun. Asalkan tidak ada najis yang kelihatan.
Anda pun tidak harus membaca surat Al-Baqarah yang panjangnya dua juz setengah, untuk sekedar sahnya satu rakaat. Cukup baca Qulhuwallahu ahad, atau Al-Falaq atau An-Nas. Ruku’ dan sujud anda tidak perlu berisi doa-doa panjang minta kapal untuk shalat lima waktu. Kecuali pada shalat malam (tahajjud), di mana hanya ada anda berdua dengan Allah saja.
Shalat anda boleh dilakukan dengan cepat, asalkan rukunnya semua terpenuhi. Bukankah Rasulullah SAW dikenal sering mempercepat shalatnya kalau sedang jadi imam shalat, apalagi bila mendengar ada bayi menangis.
Jadi kesimpulannya?
Shalat tetap wajib dilakukan di dalam waktunya meski tidak harus di awal. Boleh tetap dilakukan langsung di tempat kerja, tanpa alas, sarung, kopiahdan semua atribut. Dan tidak perlu berlama-lama dalam mengerjakannya.
Semua itu untuk mengejar sahnya shalat, ketimbang anda berijtihad sendiri dan membuat-buat agama baru dengan menjama’nya, padahal syaratnya belum terpenuhi.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.