Assalamu’alaikum, Ustadz.
Mohon maaf sebelumnya, saya membaca jawaban ustadz tentang ucapan ushalli sebelum shalat. Intinya ustadz menjelaskan bahwa mengatakan bid’ah kepada sesama muslim yang masih melakukan hal itu adalah tidak baik. Yang saya tanyakan, walaupun kita tahu masalah ini adalah khilaf para ulama sejak dahulu namun apakah tidak boleh bila seseorang yang meyakini dengan ilmu mencoba memberikan nasehat yang baik kepada saudaranya (walaupun saudaranya tersebut awam) bahwa ucapan ushalli itu bid’ah sesuai yang dia yakini? Apakah dikarenakan saudaranya masih melakukan hal itu kita jadi tidak menasihatinya karena takut memecah belah umat? Bukankah kita wajib meluruskan saudara kita sesuai dengan kemampuan kita?
Kemudian yang saya herankan pada sebagian saudara kita, bila ada sesama saudaranya menasihatinya bahwa dia telah melakukan perbuatan bid’ah atau hal buruk lainnya kemudian dia menganjurkan saudaranya tersebut untuk bisa bersikap toleran dan mengakui perbedaan pendapat dan tidak menuduhnya telah berbuat bid’ah. Bukankah dia juga seharusnya bersikap toleran terhadap saudaranya yang telah menuduhnya bid’ah tersebut karena yang saudaranya yakini adalah seperti itu? Bukankah kita juga dianjurkan untuk bersikap toleran kepada saudara kita yang berbeda pendapat walaupun pendapatnya mungkin menyakiti kita? Mohon penjelasan ustadz. Terima kasih.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Menjelaskan duduk permasalahan suatu perbedaan pendapat dari sebuah hukum, tentu saja baik dan bahkan perlu dilakukan. Akan tetapi hal itu sangat berbeda dengan ‘main tuduh’ atau ‘asal tuding’.
Misalnya dalam masalah ‘ushalli‘ yang anda contohkan. Kalau seorang ustadz berceramah dan mengatakan bahwa masalah itu merupakan khilaf di kalangan ulama, ada yang menganjurkan tapi juga ada yang melarangnya, dengan masing-masing dilengkapi dengan landasannya, tentu saja hal itu sangat positif. Karena dengan keterangan seperti itu, masyarakat jadi tahu kedudukan sebenarnya masalah khilaf itu.
Bahwa ustadz itu kemudian lebih cenderung memilih salah satu pendapat, juga tidak mengapa. Asalkan beliau tidak sambil memaki, mengejek, menghina atau melecehkan pendapat lainnya.
Gambaran cara penjelasan yang tidak simpatik adalah seorang ustadz yang sejak awal sudah memaki-maki, melecehkan bahkan langsung main tuduh bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan ini, pasti sesat, ahli bid’ah, pasti masuk neraka dan seterusnya. Padahal masalah itu masih menjadi polemik (khilaf) di kalangan para ulama. Artinya dengan demikian, pak ustadz ini langsung menggiring audience-nya untuk berpihak kepada pendapatnya, sekaligus menebarkan rasa kebencian kepada pendapat yang berbeda dengannya.
Bahkan tidak jarang, cara-cara yang seperti ini cenderung menghadirkan kebingungan di kalangan umat. Apalagi bila kebetulan umumnya para pendengar termasuk kalangan yang berbeda pedapat dengan pak ustadz tersebut. Akhirnya, makin besarlah rasa perbedaan yang diiringi dengan kebencian di kalangan umat.
Menjelaskan Masalah Bid’ah
Tidak ada yang salah ketika kita menjelaskan masalah bid’ah kepada umat ini. Justru penjelasanitu menjadi wajib untuk disampaikan, mengingat besarnya bahaya bid’ah.
Akan tetapi yang mutlak tidak boleh dilupakan adalah bahwa masalah vonis bid’ah ini tidak pernah sepi dari perbedaan pendapat. Hal ini menunjukkan bahwa tiap ulama punya ijtihad dan hujjah masing-masing, di mana sangat mungkinkan bahwa suatu perkara dianggap bid’ah oleh ulama A, tapi tidak dianggap bid’ah oleh ulama B. Atau boleh jadi penggunaan istilah bid’ah itu sendiri punya pengertian dan cakupan yang saling berbeda antara satu ulama dengan ulama lain.
Maka menjadi sangat tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid’ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid’ah dan pengertiannya ini menjadi krusial bagi seorang penceramah.
Bila sebuah masalah sudah disepakati kebid’ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, tentu saja kita wajib menyampaikannya kepada khalayak. Sebab kita wajib melindungi umat dari bahaya bid’ah.
Akan tapi kalau masih ada perbedaan di dalam suatu masalah, Apakah termasuk bid’ah atau bukan, di mana para ulama sendiri masih berpolemik, maka yang lebih bijak untuk kita lakukan adalah berpegang kepada kejujuran ilmiyah. Katakan bahwa sebagian ulama membid’ahkannya tapi sebagian lainnya tidak sampai demikian. Tidak ada ruginya menjalankan kejujuran, bahkan kejujuran adalah bagian dari ketinggian ilmu seorang ustadz. Dan tidak perlu malu mengatakan hal demikian, toh kewajiban kita hanya menyampaikan saja.
Kita tidak diminta Allah menjadi orang yang paling bertanggung-jawab atas tersebarnya masalah bid’ah di tengah umat. Sehingga kita tidak perlu berkeluh-kesah atas masih bertaburannya bid’ah. Yang diminta oleh Allah kepada kita hanyalah menyampaikan dengan lemah lembut, penuh rasa kasih, serta dengan mengajak secara baik-baik.
Allah SWT tidak meminta kita untuk memerangi orang yang masih melakukan bid’ah dengan cara memaki, mencaci, mencela, melecehkan atau menyakiti hati mereka. Apalagi dengan cara memboikot, menelikung, mengucilkan, tidak bertegur sapa, atau cara-cara kasar lainnya. Semua itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru akan membuat umat semakin membenci dan berlari dari kita.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.