Yang populer di masyarakat, penilaian sahnya shalat hanya bertumpu kepada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Memang, itu adalah langkah awal yang tepat untuk mencapai hakikat shalat.
Akan tetapi, syarat dan rukun tersebut harus ditindaklanjuti dengan pelajaran berikutnya sehingga, di samping terpenuhi syarat dan rukunnya juga semua sifat-sifat shalat dapat dicapai, antara lain sebagai berikut:
- Niat yang ikhlas (Q.S. Al Bayyinah, 98: 5).
- Dilakukan dengan khusyu’ (Q.S. Al Mu‘minûn, 23: 1-2).
- Thumaninah.
- Menjadi puncak kenikmatan hidup.
- Mencegah perbuatan keji dan munkar (Q.S. Al ‘Ankabût, 29: 45).
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ( العنكبوت : 45)
“Sesungguh shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar”لصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنٍ “Shalat adalah tiang agama”
Apabila seorang hamba menjiwai kedua teks tersebut, ia akan menjadi orang yang taat kepada Allah dan bermanfaat bagi kehidupan manusia serta bersih dari ucapan dan perkataan yang menyakiti sesama. Tiang dalam satu bangunan berfungsi sebagai penopang yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya; bekerja sama dalam menjaga keselamatan bersama.
Maka, demikian pula jika shalat sudah berfungsi sebagaimana mestinya, akan menjadi penegak hukum, pembina akhlak, pemelihara kesatuan umat, dan pengikat antara sesama Muslim. Kendati kaum Muslimin meyakini bahwa shalat adalah syari’at yang telah ditetapkan Allah dan tidak untuk diperdebatkan, namun dapat dipungkiri bahwa shalat masih sering menjadi bahan perdebatan.
Pembicaraan tentang syarat, rukun, wajib, sunnah, atau lainnya selalu menyibukan umat Islam yang mengkaji ilmu fiqih yang terkadang membawa kepada perdebatan. Apa yang menjadi faktor utama sehingga masalah ini susah mencapai titik temu? Memang betul, shalat tidak akan sah jika tidak memerhatikan hukum-hukmnya, namun apakah shalat seseorang pasti akan diterima hanya karena telah sesuai dengan syarat dan rukunnya?
Sungguh tidak demikian sebab masih ada yang perlu diperbaiki, yaitu perbaikan esensi shalat; kandungan atau ruh shalat yang terdapat pada gerakan.
Makna Khusyu’
Kendati kata khusyu’ sudah tidak asing bagi kaum Muslimin, namun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari masih dirasa perlu ada tambahan penjelasan. Bagaimana sebenarnya khusyu’ menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Mungkin, definisi khusyu’ cukup diperlukan, namun ada yang lebih diperlukan dari itu, yaitu mengetahui bagaimana khusyu’nya Rasulullah saw. Karena itu, dalam pembahasan ini tidak akan dibahas definisi khusyu’ yang mungkin banyak menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan para ahli fiqih.
Khusyu’ dalam Al Qur’an:
– Khusyu’ dengan suara,
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Q.S. Thâhâ, 20: 108)
– Khusyu’ dengan qalbu,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman menundukkan hati mereka untuk mengingat Allah. (Q.S. Al Hadîd, 57: 16)
– Khusyu’ dengan menangis dan bersujud,
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu`. (Q.S. Al Isrâ’, 17: 109)
– Khusyu’ karena takut kepada Allah,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (Q.S. Al Hasyr, 59: 21)
– Khusyu’ karena takut dan harap,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (Q.S. Al Anbiyâ’, 21: 90)
– Khusyu’ dalam pandangan,
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. (Q.S. Al Qalam, 68: 43)
– Khusyu’ dengan wajah,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina. (Q.S. Al Ghâshiyah, 88: 2) Beberapa ayat tersebut memberi gambaran kepada kita tentang arti khusyu’ secara bahasa dan hakikat khusyu’ yang harus kita raih dalam shalat. Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan memberi isyarat bahwa khusyu’ akan teraih dengan melibatkan tunduknya seluruh organ tubuh berlandaskan iman yang terwujud dalam rasa takut dan harap kepada Allah.
Khusyu’ dalam ibadah sulit diukur dengan ilmu fiqih sebab khusyu’ adalah komunikasi seorang hamba dengan Allah yang tidak selalu melibatkan gerakan lisan atau anggota tubuh lainnya karena yang lebih menentukan kekhusyu’an adalah penghayatan terhadap apa yang diungkapkan dalam hati.
Namun demikian, tidak berarti bahwa khusyu’ itu masalah gaib atau sesuatu yang tidak terukur. Justru, khusyu adalah tingkatan yang mesti kita capai dan kita upayakan, baik dalam shalat, membaca Al Qur’an, berdoa, atau yang lainnya.
Untuk mengetahui kadar kekhusyu’an kita dalam menunaikan shalat, sangat penting untuk diketahui sifat–sifat shalat menurut Al Qur’an dan As sunnah.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ .الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
Sungguh beruntung orang-orang mukmin yang dalam shalatnya senantiasa khusyu’ . (Q.S. Al Mu‘minûn, 23: 1-2)
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوْا كَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُوْنَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman menundukkan hati mereka untuk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya diturunkan al Kitab, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka jadi keras.
Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Hadîd, 57: 16)
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (dengan shalat) lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain.
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Melalui ayat-ayat tersebut, fungsi khusyu’ dalam kehidupan umat Islam adalah:
- Khusyu’ syarat utama untuk meraih kesuksesan hidup.
- Khusyu’ dapat berlangsung selama shalat dan juga di luar shalat.
- Khusyu’ dapat diraih dengan qalbu yang dzikir.
- Tanpa khusyu’, maka hati akan menjadi keras.
- Shalat yang khusyu’ dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.
- Shalat yang tidak khusyu’ tidak akan mampu mengubah keadaan umat.
Untuk meraih khusyu’ dalam shalat, sangat penting bagi kita untuk selalu memerhatikan nasihat para shâlihîn yang telah berjuang membela hak dan menghancurkan kebatilan. Semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Mubarak (wafat tahun 181H) yang telah menasihati seorang hamba yang dikenal sebagai ahli fiqih, ahli hadits, orang yang zuhud, dan sering meneteskan air mata ketika beribadah kepada Allah Swt., yaitu Fudhail bin ‘Iyadh (wafat tahun 187H).
Kendati Fudail memiliki sifat-sifat yang sangat terpuji, namun menurut Ibnul Mubarak, beliau perlu ditegur dan dinasihati. Maka, ia mengirim sepucuk surat yang berisi nasihat dengan untaian kata yang tersusun dalam bait-bait syair yang sangat indah,
َيـاعَـابِدَ اْلـحَـرَمـــــَيْنِ لَوْأَبْـصَـــرْتـَنـَا لَعَلِـمْتَ أَنـــكَ فِيْ الــعِبَــادَةِ تَلْــــعَبُ مَنْ كَانَ يَخْضــِبُ جَيــــــْدَهُ بِدُمـــُوْعِـهِ فَـنُـحـُوْْرُنَا بِدِمَـــــــــائِنـَا تَتَخَـــضَّبُ أَوْ كَانَ َيتـــْعَبُ خَيـْــلُـهُ فِيْ بــــــَاطِلٍٍ فَخُــُيوْلُـنَا يَـــوْمَ اْلـكَـرِيْـهَةِ تَـتْــــعَبُ رِيْـــحُ اْلعَبِــــْيِرِ لَكُمْ وَنَحْنُ عَبِِِِــــــْيرُنَا رَهَـــجُ السَّنــَابِكِ وَالْغُبـــــــَارُ اْلأَطْيَبُ وَلَقَدْ أَتــَــانـَا عَنْ مَــقَالِ نَبِـــــــيِّنَـا قَـوْلٌ صَحِيْــــــــحٌ صَـــادِقٌ لاَ يـَكْذِبُ لاَ يَسْـــتَوِيْ غُبَــــــــارُ خَيْـــلِ اللهِ فِيْ أَنـْفِ امْـرِئٍٍ وَدُخَـــــــانُ نـَـارٍٍ تـَلْـهَـبُ هَـذَا كِـتـَابُ اللهِ يـَنْـــطِـقُ بَيْــــــنَـنَا لَيْسَ الشَّهِـــــــيْدُ بـِمَيــــــِّتٍ لاَ يَكـْذِبُ
Wahai saudaraku, Anda terkenal sebagai ahli ibadah di Masjidil Haram… Sekiranya Anda menengok (pasukan mujahidin bersama) kami, pasti Anda sadar bahwa Anda sedang bermain-main dengan ibadah Anda, Siapa yang membanjiri pipinya dengan air mata, (maka lihatlah) sesungguhnya leher kami penuh dengan darah.
Barang siapa yang kudanya lesu karena kegiatan yang tak berguna, maka sesungguhnya kuda kami merasa lelah karena perang. Anda senantiasa menikmati harumnya minyak wangi. Sementara hidung kami penuh dengan debu yang disemburkan kaki kuda. Sungguh telah sampai kepada kami dari Nabi yang selalu tepat ungkapannya dan benar tutur katanya, beliau bersabda, “Tidaklah sama debu kuda Allah yang masuk ke dalam hidung seorang (mujahid) dengan api neraka yang menyala-nyala.
Inilah kitâbullâh berbicara kepada kami dengan benar bahwa orang yang mati syahid sebenarnya tidaklah mati.” Ibnu Mubarak ingin mengingatkan kita agar jangan merasa cukup mengisi kehidupan ini dengan sekadar shalat dan berdo’a, meskipun sampai membanjiri wajah dengan air mata, kalau masih menolak banjirnya leher dengan darah fî sabîlillâh. Wallahu’alam. (Ms)