eramuslim.com
by Tony Rosyid
Pandemi akibat Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan eskalasinya dalam beberapa hari belakangan ini justru semakin naik. Setiap hari hampir 13 ribu orang terinveksi. Lebih dari 200 orang mati. Total kematian mencapai lebih dari 24 ribu.
Segala upaya sudah dilakukan. Mulai Mencuci Tangan, Memakai Masker dan Menjaga Jarak (3M) sampai dengan membatasi aktifitas kerja dan kerumunan. Saat pandemi, semua aspek kehidupan termasuk sosial, ekonomi dan ibadah mengalami banyak perubahan.
Selama pandemi, puluhan orang kena denda akibat melanggar Protokol Kesehatan (Prokes), khususnya di DKI. Soal penerapan prokes tersebut, DKI memang dikenal lebih tegas dari daerah lain. Ada juga yang dipenjara gegara melanggar prokes.
Pertanyaannya, kenapa angka yang terinveksi tak juga turun, malah terus naik? Ada tiga penyebabnya. Pertama, kebijakan yang sering terlambat dan tidak konsisten. Kedua, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan untuk semua. Ketiga, kedisiplinan masyarakat yang rendah. Ujung-ujungnya, herd immunity.
Saat ini, 3M dianggap tidak cukup. Muncul gagasan vaksinasi. Bahkan sudah dijalankan. Semua langkah memang perlu ditempuh, selama itu memberi efek pencegahan, atau setidaknya meminimalisir jumlah terinveksi. Selama tujuan dan realisasinya benar, efek positifnya terukur, dan terjamin keamanannya, rakyat relatif akan bisa menerima.
Ada penelitian menarik yang dilakukan Kemenag soal vaksinasi. Sebanyak 54, 37 persen rakyat menerima untuk divaksin. Sekitar 9,39 persen lagi menolak. Dan sisanya 36,25 persen belum punya pilihan. Bisa diartikan, masih ragu-ragu.
Masih banyak masyarakat yang ragu dan menolak untuk divaksin. Mulai dari dokter, perawat, anggota DPR hingga rakyat biasa. Salah satunya karena faktor informasi yang simpang siur. Ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum “atau sembari” program vaksinasi dijalankan.
Pertama, perlunya jaminan bahwa vaksinasi ini halal, aman, efektif dan tidak ada risiko. Jika ada risiko, baik ringan maupun berat, pemerintah sebaiknya menjamin akan bertanggungjawab, setidaknya secara materiil. Misalnya, pemerintah menanggung biaya rumah sakit jika terjadi risiko akibat vaksinasi. Pemerintah pun menjamin biaya hidup keluarganya jika sampai ada tulang punggung keluarga yang meninggal akibat vaksinasi.
Kedua, soal regulasi. Vaksinasi wajib, boleh menolak tanpa sanksi, atau seperti apa. Vaksinasi jadi tanggung jawab pusat, atau daerah. Perlu ada kepastian hukum. Entah itu kepres, peraturan menteri, atau peraturan kepala daerah. Bila perlu Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri, yaitu Menkes, Mensos, Menkominfo, Mendagri, Menkumham dan menteri BUMN. Kok banyak kali menteri yang terlibat? Biar mantabs saja. Sekarang lagi musim serba “enam”.
Ketiga, soal panduan teknis. Mesti jelas siapa yang melakukan vaksinasi? Dimana saja tempat vaksinasi? Urutan pasien berdasarkan profesi dan wilayah, serta kepastian schedulenya. Setiap orang dapat berapa kali vaksinasi. Semua orang akan mendapat vaksin sinovac yang sama atau beda. Apa saja yang harus dilakukan oleh peserta vaksinasi, baik sebelum atau sesudah divaksin. Setelah divaksin, bolehkah berkerumun tanpa masker, misalnya. Disini, perlu panduan secara rinci.