Direktur Eksekutif Walhi Kalimatan Selatan, Kusworo Dwi Cahyono menegaskan, banjir besar di yang terjadi Kalimantan Selatan beberapa hari ini, bukan sekedar akibat cuaca yang ekstrem. Melainkan akibat rusaknnya ekologi dan ekosistem lingkungan di daeah ini. Kerusakan terbesar sebagai akibat dari eksploitasi lingkungan secara komersial tanpa megabaikan dampak yang timbul di kemudian hari.
Berdasarkan catatan Walhi, tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang yang dilakukan oleh 157 penguasa tambang batubara. Lubang-lubang tambang tersebut, sampai sekarang masih aktif. Bahkan ada yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pembukaan lahan hutan untuk perkebunankelapa sawit.
Pasti bakal mengurangi daya serap tanah. Kondisi ini nenampakan daya tampung dan daya dukung lingkungan di Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Masalah ini sudah sering kita ingatkan. Sejak dari total wilayah seluas 37 juta hektar. Kini hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit”, ujar Kusworo.
Sumber Kementrian Kehutanan menyebutkan Pulau Kalimantan sebenarnya menjadi areal gundul yang cuma memiliki hutan primer kurang dari 20 persen. Padahal supaya lalulintas air hujan tak tumpah ruah di darat, maka diperlukan paling sedikit 30 persen daya dukung hutan primer. Inilah jawaban mengapa bencana banjir dan longsor belakangan ini sering terjadi di pulau yang setengah abad silam dikenal amat rimbun terseut.