Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas, Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.
Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni… Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”