“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan…”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya…,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya…”