ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN THAGUT, sebagaimana air yang tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad di Jalan Allah.