“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya.(Bersambung)