Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.