Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.