Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid. Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah Pangeran Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, yang isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat Yogyakarta memusuhi dia.
Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke dalam masjid. Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi Ustadz Taftayani.
“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada residen itu. Berangkatlah dalam nama Allah…”
“Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah…“
Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit yang disandangnya di bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid dan langsung melompat ke atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri Tegalredjo.
Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati. Setelah itu semua pasukan diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing dengan kesiagaan penuh di sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.