“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu Joyokirno.
“Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”
Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera melompat ke atas kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah utara.
“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang meneliti peta sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid. Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu mendekat.
“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”
Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung dengan kita.”
Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita akan tetap dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”
Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab. Diponegoro memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap berada di tangan Pangeran Diponegoro.