Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran Mangkubumi.
Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang berbeda. Gelang terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.
Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia. Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.
“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan lama lagi meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu, keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab terhadap keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.
Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya laksanakan.”