TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan pimpinan pasukan.
“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan pasukan dan segala sesuatunya.”
“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro. Basis adalah nama sandi bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.
Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar Diponegoro menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur Wisesa?”
Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan jalur, sudah kita amankan…”
“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.”