Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha keras menguasai dirinya dari kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga dirinya serasa diinjak-injak.
Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di dekat mereka berdua.
“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.
“Dalem, Kanjeng Pangeran…”
“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”
“Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita kembali saja ke Puri…”
Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan, “Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”
Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia berteriak lantang,