Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.
“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar salah seorang pemuda yang lain.
“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap bergerak!” pekik yang lain.
Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan semua pengikutnya.
“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat memimpin barisan ini!”
Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat kakinya-beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu. Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing dan mengikuti Sang Pangeran.
Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam tanahnya.