Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.
“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda…”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”