Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.