Plered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.