Menunaikan puasa Ramadhan di negeri orang adalah sebuah tantangan keimanan tersendiri. Kaum muslim harus siap tidak mendengar kumandang azan atau penanda waktu imsak/berbuka, absennya spanduk ucapan Ramadhan, tanpa acara TV islami ataupun juga komersialisasi Ramadhan lainnya seperti di Tanah Air. Kebanyakan orang “Barat” memang tidak berpuasa dan kehidupan mereka berjalan sebagaimana biasa.
Yang menyejukkan perasaan, tidak ada perbedaan awal puasa Ramadhan di Canberra seperti yang sering terjadi di Tanah Air. Pengumuman awal Ramadhan dari Canberra mosque, satu dari dua masjid di seluruh Australian Capital Territory (ACT), disampaikan melalui sms dan secara cepat menjalar melalui milis-milis komunitas muslim. Selebaran kalender jadwal puasa diberikan secara gratis oleh beberapa sponsor dari kalangan pengusaha muslim di Canberra seperti penjual kebab dan grill ataupun chemist.
Puasa Ramadhan kali ini bertepatan dengan musim dingin di “kota terdingin” di Australia ini. Imsak yang jatuh pada pukul 5: 10 am waktu ACT diliputi suhu sampai minus 4 derajat celsius yang menghadirkan morning frost di pagi hari. Untungnya, kami tidak terlalu merasakan lapar dan dahaga dalam menjalani puasa sampai waktu maghrib menghampiri sekitar pukul 5:32 pm yang biasanya berkisar pada suhu 8 derajat celsius.
Tidak ingin membeku dalam dinginnya kota Canberra, Muslim Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah di kota diplomatik dan pusat pemerintahan Australia ini, bergotong-royong mengadakan acara Ifthor Jamai (Buka Puasa Bersama) di KBRI yang diselenggarakan hari Sabtu lalu (14-08-2010).
Acara yang juga dihadiri oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia ini diisi dengan santap takjil, sholat maghrib berjamaah, berbuka puasa bersama serta sholat isya dan tarawih berjamaah. Acara yang dinanti-nanti komunitas muslim Indonesia di Canberra ini didukung penuh oleh AIMFACT (Australian-Indonesian Moslem Family in ACT) yang menyediakan makanan khas Indonesia.
Indonesia mini hadir di acara tersebut yang terdiri dari para mahasiswa, diplomat, serta segenap komponen masyarakat Indonesia termasuk juga beberapa warga muslim Australia yang tumpah ruah di Balai Kartini KBRI di Darwin Avenue, Canberra. Tentu saja acara tersebut menceriakan anak-anak karena bisa bertemu banyak kawan sebaya, meski hal yang tak jauh berbeda juga dirasakan kaum dewasa dengan kesempatan silaturahmi sesama warga sebangsa.
Karena populasi muslim yang sedikit dan minoritas, jadilah beberapa orang menjadi imam sholat dan khotib “dadakan”. Tak mengherankan, kawan sepakbola atau bulutangkis atau kolega cleaner kita bertindak sebagai penceramah atau tokoh agama. Para mahasiswa dari berbagai latar belakang dan aktivitas sebelumnya di Tanah Air yang sedang menempuh studi lanjutan di Canberra ini menjadikan mereka di acara tersebut mozaik muslim Indonesia.
Tujuh belas menit “Kultum” oleh A’a Gun menarik perhatian para jamaah. Tausiah yang disampaikan tentang pentingnya meningkatkan iman serta menyelami hakikat puasa Ramadhan sebagai satu-satunya ibadah yang diperuntukkan bagi Allah SWT, agar bisa mencapai derajad puasa orang special, dan bukan hanya khusus apalagi puasa orang awam. Bagaimana kehadiran Allah SWT sebenarnya sedemikian dekat, lebih dekat dari urat leher manusia.
Dalam paparannya, dicontohkan oleh para salafusaleh tentang cara-cara meningkatkan iman. Bagaimana puasa Ramadhan memberi insentif kepada manusia untuk berlomba mendapatkan ridha Ilahi dengan mengisinya dengan khiyamul lail serta tilawah Al Quran. Meninggalkan pandangan dan pendengaran dari yang makhruh atau buruk, serta harap-harap cemas akan hasil akhir puasa kita seharusnya menjadi perhatian muslim di bulan penuh berkah ini.
Pada bulan penuh ampunan ini pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan iblis diikat. Diperlukan upaya preemptive yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas iman kita di bulan seribu bulan ini. Dalam khotbahnya tersebut, A’a Gun juga menyampaikan bagaimana teladan Umar bin Khotob yang “menghukum diri” dengan menghibahkan kebun korma yang telah membuatnya terlambat melaksanakan sholat berjamaah. Tausiah tersebut secara kontekstual efektif membangunkan keimanan dalam lingkungan yang asing dan sekuler seperti di Canberra ini.
Tak bisa dibantah, acara tersebut telah menghadirkan kebersamaan segenap komponen masyarakat Indonesia di Canberra, diantara pengikut ormas Islam yang berbeda-beda. Toleransi yang tercipta nyata pada proses penentuan Imam, khotib serta jumlah rokaat sholat tarawih yang diputuskan dan diselenggarakan secara bersama-sama. Kondisi sedemikian yang sepertinya tercipta karena keadaan minoritas di negeri orang, sangat melegakan semua pihak.
Akhirnya acara malam itu diakhiri dengan berjabat tangan melepas kangen dan bermaafan dengan harapan dapat berjumpa pada acara serupa hari sabtu berikutnya sampai akhir Ramadhan. Kalaupun tidak bisa bertemu sanak saudara di Tanah Air, cukuplah para saudara di perantauan ini menjadi pelipur lara. Semoga acara semarak Ramadhan di Canberra ini bisa mencapai tujuan azasinya. Amin.
[kiriman Nico Andrianto, Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University (ANU), Canberra, Australia]