Ramadhan, adalah hadiah terindah yang dianugerahkan Allah swt kepada umat Islam. Di berbagai penjuru dunia, kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh kehangatan, terlebih di negeri yang mayoritas muslim seperti Republik Islam Iran. Beberapa hari menjelang Ramadhan, suasana peningkatan aktifitas spiritual mulai terasa di berbagai masjid serta pusat keagamaan. Suasana seperti ini, lebih terasa lagi di kota-kota yang kental nuansa spiritualnya, seperti Qom dan Mashad.
Di Iran, sebagaimana di belahan negeri muslim lainnya, bulan Ramadhan sangat identik dengan bulan Quran. Kegiatan tadarus diselenggarakan di berbagai masjid, yayasan serta pusat-pusat pendidikan. Saya jadi teringat, saat masih menjadi mahasiswa di kota Qom, lima belas menit hingga tiga puluh menit sebelum perkuliahan dimulai, biasanya diisi dengan tadarus bersama. Selepas shalat dzuhur berjamaah, dilanjutkan dengan kuliah tafsir yang menyegarkan ruhiah, mengobati dahaga lahiriah.
Lebih dari itu, suasana Qurani juga dimeriahkan dengan pelaksanaan pameran dan musabaqe Quran (lomba seputar al-Quran). Pameran Quran diselenggarakan di berbagai kampus, sekolah dan lembaga lainnya. Setiap tahun, pameran Quran tingkat nasional dipusatkan di Mushalla Imam Khomeini, Tehran. Dalam pameran tersebut, digelar berbagai hasil karya yang berkaitan dengan Quran mulai dari pameran mushaf, kaligrafi, tafsir, buku-buku dan cd sampai berbagai aksesoris Quran lainnya. Isi al-Quran yang ada di Iran, sama dengan yang kita pergunakan di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya.
Tak ketinggalan, sejumlah stasiun televisi pun turut menyambut bulan suci ini dengan berbagai tayangan khas Ramadhan, mulai dari ceramah keagamaan, kuis, doa dan acara dunia Islam sampai tayangan sinetron. Sinetron yang diputar di bulan Ramadhan, biasanya memiliki rating tinggi dengan tema yang sangat menyentuh keseharian masyarakat Iran. Kehangatan tv menyapa dari sahur sampai berbuka.
Di antara tayangan yang membuat saya terpikat adalah liputan tradisi buka bersama yang dilakukan salah satu suku pedalaman di Iran. Tua, muda dan anak-anak berkumpul di tenda besar menyantap non lavashi (semacam roti tipis ala india) ditemani ab gush (sup daging). Kaum perempuan bahu membahu menyalakan tungku api, sedang para pria bertugas memotong kambing sampai menguliti dagingnya. Suasana kebersamaan begitu terasa, sungguh pemandangan yang amat memesona.
Kekhasan Ramadhan lainnya yang juga menjadi tradisi di negeri Persia ini, hidangan berbuka. Menjelang maghrib, berbagai restoran menjual menu khas berbuka seperti halim dan asy. Halim, semacam sup yang terbuat dari gandum campur daging dibubuhi kacang peste (pistachio) dan kelapa tabur. Sedang, ash semacam sup, bedanya terbuat dari sayuran yang dihaluskan, ditambah mie halus lalu disiram saus kasyk. Keduanya dihidangkan panas-panas. Makanan lainnya yang menjadi menu pembuka adalah kurma dan manisan Zolubia dan Bomiya, makanan yang terbuat dari terigu diguyur gula yang hanya disajikan pada bulan Ramadhan. Biasanya, orang Iran menyantapnya dengan keju.
Meskipun tidak dikenal istilah salat tarawih, masyarakat Iran melakukan salat sunah di rumah dan masjid. Masjid-masjid di malam Ramadhan diisi dengan ritual salat sunah, doa bersama dan ceramah keagamaan. Puncak kegiatan doa bersama di Iran jatuh pada malam ke 19, 21 dan 23 Ramadhan. Di ketiga malam itu, jalanan disesaki lalu lalang orang yang berangkat dan pulang dari masjid. Selama tiga hari, sekolah, kampus dan instansi lainnya diliburkan. Masyarakat Iran tua, muda, remaja, bahkan anak-anak berbondong-bondong memenuhi masjid.
Saat di kota Qom, biasanya saya pergi ke Masjid Maksumah (Masjid terbesar di kota Qom). Masyarakat mengharu biru di bawah atap langit ditemani kerlip bintang. Semakin malam, suara sayup-sayup maddah (pemandu doa) semakin menyayat, menggetarkan berjuta hati dan berakhir dengan lautan air mata. Saat pertama mengikuti acara ini, hati saya juga ikut larut, padahal waktu itu saya masih belum bisa memahami bahasa Farsi.
Masyarakat kembali tumpah ruah ke jalan pada Jum’at terakhir bulan Ramadhan. Mereka turut menggabungkan diri dalam derita rakyat Palestina di hari Quds sedunia. Pada tahun kedua puasa di Iran, saya bersama puluhan mahasiswa Indonesia lainnya pernah bergabung dalam acara long march peduli Palestina. Saat itu, kami berjalan ditemani rinai hujan musim gugur. Kali ini, Ramadhan tiba di penghujung musim panas. Meski sengatan hawa panas mulai melunak, tapi berjalan di tengah terik matahari sambil berpuasa bukanlah hal yang mudah. Padahal, acara semacam ini diperingati setiap tahun, tak kenal musim dan cuaca.
Akhir Ramadhan ditutup dengan pelaksanaan salat Idul Fitri. Masjid dipenuhi para jamaah hingga ke halaman. Sebelum pelaksanaan salat, masyarakat membayar zakat fitrah di kotak-kotak amal yang disediakan oleh yayasan Imdad Mustadhafin, sebuah lembaga zakat dan shadaqah terbesar di Iran. Hari raya Idul fitri di Iran diperingati sebagai hari Mustadhafin, hari berbagi dengan para fakir miskin. Demikian sekelumit catatan tentang Ramadhan di Iran. Rindu Ramadhan adalah rindu amal, rindu pengorbanan dan persatuan. Salam Ramadhan dari tanah Persia. (Afifah Ahmad, Tehran, Iran)