Sudah beberapa kali ramadhan, saya manunaikan ibadah puasa di Malaysia ini. Demi pelajaran dan penghematan uang terkadang saya tidak pulang hari raya. Saya kuliah dengan biaya sendiri tanpa beasiswa dari pemerintah seperti warganegara lain yang dibiayai oleh pemerintah mereka.
Suasana puasa disini agak lain dengan suasana ramadhan di kampungku. Ada beberapa kebiasaan yang sudah menjadi adat yang membudaya disini diantaranya;
a. Bazar Ramadhan
Dibazar ramadhan semua jenis makanan, ikan, sayur, kue tersedia disini. Setiap sore masyarakat akan datang kesana membeli makanan untuk berbuka. Orang Kuala Lumpur sibuk bekerja dan mayoritas mereka bekerja suami istri. Mereka lebih suka membeli makanan yang sudah masak untuk berbuka puasa karena tidak sempat untuk memasak dirumah.
b. Berbuka
Orang Kuala Lumpur suka mengadakan acara syukuran dengan mengundang jamaah masjid datang berdo`a dan makan dirumahnya. Dibulan ramadhan mereka suka memberi uang ke masjid-masjid untuk dibelikan makanan untuk berbuka orang yang berpuasa. Disamping mereka meyakini amalan itu akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa, amalan itu juga diniatkan untuk mendo`akan ahli keluarga mereka yang telah meninggal dunia.
Saya sering berbuka di masjid TNB (PLN kalau di Indonesia) karena disana menyediakan makanan untuk berbuka puasa sebanyak 450 orang setiap harinya dengan makanan yang dihidangkan seperti makan di restoran Padang saja. Yang datang berbuka disana berbagai macam lapisan masyarakat, tetapi kebanyakannya adalah mahasiswa karena jaraknya dekat dari kampus Universiti Malaya tempat aku belajar. Sebenarnya setiap masjid, surau dan mushala menyediakan makanan untuk berbuka puasa. Namun kualitas dan kuantitasnya berbeda mengikut besarnya masjid.
Kawan-kawan juga sering mengadakan acara berbuka puasa dirumahnya dengan mengundang pelajar dan masyarakat Indonesia yang berada disana. Saya hanya terkadang bisa memberikan uang untuk biaya berbuka karena saya masih sendiri. Dirumah saya tidak memasak, hanya makan di warung. Hitung-hitung kalau bujang makan diluar lebih hemat dari masak sendiri.
c. Solat Tarawih
Di Kuala Lumpur kita bisa memilih berbagai masjid melaksanakan solat taraweih. Disamping karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, juga karena semua tempat itu bisa dijangkau dengan mudah. Masjid-masjid besar biasanya menyediakan imam-imam yang hafal al-Qur`an yang sengaja dikontrak selama bulan ramadhan. Sebahagian imam itu sengaja didatangkan dari negara Arab yang hafaz al-Qur`an. Saya suka solat tarawih secara berganti-ganti kalau cuaca baik dan tidak hujan, ini karena saya hanya memiliki sepeda motor. Namun disini orang yang menggunakan sepeda motor dikategorikan sebagai orang miskin. Mobil bukanlah barang mewah disini karena setiap rumah biasa saja memiliki bebarapa buah mobil.
Ikan, daging, telur, susu, ayam dan makanan lima sempurna lainnya mudah didapati dan murah. Pemerintah Malaysia mensubsidi dari APBN barang keperluan pokok karena mereka ingin melihat rakyatnya sehat dan kuat melalui makanan yang seimbang.
Terkadang saya solat di masjid Negara dekat pusat Islam Jabatan Agama Wilayah Persekutuan karena suasana disana lapang, tenang, bersih dan nyaman. Terkadang saya solat di Masjid Wilayah jalan Duta karena susana masjidnya seperti sebuah istana yang berdiri megah. Berada di Masjid wilayah membuat kita merasa bahwa Masjid Istiqlal Jakarta saat ini sudah jauh kalah dan tertinggal bila dibandingkan dengan masjid-masjid besar di Malaysia. Kalau waktu mendesak saya hanya solat di Masjid TNB, Masjid Abu Bakar Bangsar, masjid Al-rahman UM atau bahkan di mushala dalam Apartement 21 Tingkat tempat saya tinggal sekarang.
Di masjid semua manusia sama saja seperti di Makah. Saya lihat pejabat-pejabat tinggi negara seperti Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri, tanpa kawalan yang berarti. Hanya para body guard yang ikut solat dekat pejabat itu nampak dari penampilan dan alat komunikasi yang berada di telinga mereka. Secara berkala masjid-masjid di Kuala Lumpur mendatangkan anak-anak yatim dari berbagai panti asuhan untuk acara berbuka bersama dan diberikan bantuan dalam acara tersebut oleh para pejabat negara.
Saya lihat masyarakat Malaysia tidak begitu mengagumi pemerintah seperti di Indonesia. Bagi mereka pemerintah adalah pelayan rakyat yang tidak perlu begitu dikagumi. Setelah solat hanya beberapa orang saja yang menyalami dan mem foto pejabat tinggi Malaysia melalui HP nya.
Disini nampak sekali bedanya dengan Indonesia yang terlalu mengagumi pemimpin. Orang kita mau menunggu berjam-jam berbaris di tengah teriknya matahari hanya untuk menunggu dan melihat kedatangan seorang pemimpin. Waktu saya pergi ke Pekan Baru, Bukit Tinggi, Jogja dan berbagai kota lainnya di Indonesia saya pernah beberapa kali terpaksa tidur di hotel murah karena semua hotel telah penuh. Diwaktu kami tanya kenapa penuh, pihak hotel menjawab “Besok Bapak Presiden mau berkunjung kesini, semua hotel telah disewa. katanya sengaja di kosongkan untuk langkah-langkah keselamatan” Owh… hebat betul pengorbanan rakyat untuk seorang Presiden di negara ku ini pikirku.
Berada di masjid besar Kuala Lumpur membuat kita merasa tidak ingin keluar karena begitu tenang, nyaman dan damai di dalamnya. Dunia luar adalah sebuah masalah besar yang penuh dengan kegelisahan dan keluh kesah serta masalah. Di masjid-masjid Malaysia tidak kita jumpai pengemis yang meminta sedekah. Tidak ada tukang semir sepatu yang menawarkan jasanya. Ini karena hak-hak mereka telah dijaga dan dipelihara oleh pemerintah.
Setiap bulan orang-orang miskin dinegara ini menerima bantuan dari pemerintah pusat, dari pemerintah negara bagian dan terkadang dari pihak swasta. Tidak ada kotak infak yang berjalan diantara para jamaah di masjid sini. Kita diberi ketenangan sepenuhnya untuk melaksanakan ibadah dengan tenang dan damainya. Akan tetapi semua fasilitas itu nampaknya tidak dimanfaatkan secara optimal oleh rakyat Malaysia yang beragama Islam. Jarang sekali kita jumpai masjid-masjid itu penuh seperti di Indonesia. Mungkinkah karena ukurannya yang terlalu besar atau terlalu banyak saya pun tidak tahu.
Sepuluh malam terakhir masjid-masjid besar mengadakan program qiyamul lail. Saya suka mengadakan iktikaf 10 malam terakhir di masjid. Di masjid disediakan makan sahur sehingga saya tidak perlu pulang kerumah untuk makan lagi. Target membaca 1 juz al-Qur`an setiap hari terkadang sering bolong karena kesibukanku sehari-hari. Di sepuluh malam terakhir inilah saya manfaatkan untuk khatam bacaan al-Qur`an pada bulan ramadhan.
Beda dengan Indonesia
Secara umum Malaysia dan Indonesia memiliki kultur budaya yang hampir sama. Sejarah mengatakan bahwa masyarakat di kedua negara ini berasal dari satu rumpun yang sama. Namun bedanya di masjid-masjid Malaysia tidak menyediakan kotak infak yang dijalankan diantara para jamaah. Hampir semua masjid di Malaysia dibangun oleh pemerintah dan bukan dari swadaya masyarakat seperti di Indonesia.
Biaya pembangunan sampai beli karpet, sapu dan biaya operasional lainnya semuanya dibiayai dari APBN Malaysia setiap tahunnya. Kalau sebuah kaca pecah, jamaah akan menunggu datangnya pemerintah memperbaiki kaca masjid mereka. Padahal umat Islam disini hanya 60,4% saja. Ini berbeda dengan di Indonesia yang jamaahnya suka membangun masjid karena kurangnya perhatian dan bantuan dari pemerintah. Padahal umat Islam di Indonesia lebih 88,20% dari keseluruhan jumlah penduduknya.
Imam masjid, penceramah, bilal, pegawai dan petugas masjid digaji dari anggaran negara Malaysia. Imam masjid memiliki taraf yang tinggi dan dihormati dikalangan masyarakat. Seorang imam di masjid besar biasa saja memakai mobil mewah seperti BMW atau Marcedes. Organisasi ke Islaman di Malaysia seperti ABIM, JAKIM, JAIS, JAWI, ILIM dan sebagainya juga mendapat anggaran belanja dari APBN.
Ini berbeda dengan Indonesia yang hampir semua biaya operasional masjid dan Organisasi ke Islaman seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan sebagainya yang dibiayai oleh jamaah dan anggota persyarikatan. Jamaah dan umat Islam Malaysia dilayani seperti raja dalam bidang ibadah mereka kepada Allah. Akan tetapi hak-hak berpolitik dan bersuara disini agak ditekan dan kurang kebebasan seperti di Indonesia. Namun di Indonesia baru-baru ini hak-hak bersuara itu sudah mulai dinodai dengan adanya kasus Ibu Prita dan sms kepada ibu Presiden.
Kelemahan di Malaysia adalah kurangnya interaksi antara jamaah. Masing-masing sibuk dengan masalah sendiri. Tegur sapa dan senyuman yang jarang kita jumpai diantara jamaah dalam satu masjid. Mungkin budaya kota yang selalu sibuk membuat mereka tidak ada masa untuk bersembang dan berkumpul antara jamaah. Di masjid-masjid kurang diadakan majlis ilmu seperti ceramah, pidato. Tidak ada tadarus membaca al-Qur`an menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia***
Afriadi Sanusi.
Penulis berasal dari Sumatera Indonesia dan kini Mahasiswa S3 (Doktor Falsafah) bidang Politik Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur dan juga sebagai sekretaris Muhammadiyah Malaysia. email: [email protected]. Blogspot: http://adi-rawi.blogspot.com/
foto masjid: tropicalisland