Menjalani Ramadhan di negeri orang memang bukan hal mudah. Terlebih jika di negeri tersebut Muslim adalah minoritas. Pada Ramadhan pertama saya di Inggris, saya merasa berat sekali. Ada rasa ‘iri’ saat terbayang akan meriahnya suasana bulan puasa di tanah air. Benak tak putus-putusnya membanding-bandingkan, merasa sangat kehilangan akan atmosfer positif yang senantiasa mengajak kaum muslim untuk beribadah yang ditawarkan oleh masjid dan lembaga-lembaga keIslaman di Indonesia, termasuk berbagai program kajian ilmu agama yang sangat bermanfaat dan menarik di masjid-masjid atau televisi.
Rindu melanda akan wanginya masakan sedap ibunda untuk berbuka
puasa yang terhidang memenuhi meja. Hari-hari terasa sunyi tanpa sahut-sahutan suara azan dari masjid. Malam pun senyap mendambakan suara tadarus Al-Quran dari surau yang jika di kampung-kampung biasanya terdengar hingga larut malam.
Ramadhan kami terasa makin berat, karena di masa-masa awal tersebut kami belum memiliki banyak kenalan sesama muslim di sini.
Tahun ini adalah ramadhan keempat saya di negeri Ratu Elizabeth ini. Alhamdulillah, kami sudah lebih merasa nyaman tinggal di sini. Mencoba menikmati setiap perbedaan, waktu, cuaca, makanan, budaya dan lingkungan. Berupaya mengambil hikmah dari setiap kekurangan dan keterbatasan, karena tetap saja selalu merasa lebih nikmat puasa di negeri sendiri. Dan sedapat mungkin menciptakan ruh Ramadhan yang positif, setidaknya di rumah sendiri.
Kebetulan beberapa tahun terakhir ini, tidak banyak masyarakat Indonesia yang menetap di Southampton, kota tempat tinggal kami saat ini. Sebagaimana namanya, kota ini terletak di ujung sebelah selatan (south) Inggris, dan berada agak jauh dengan kota-kota ’terkenal’ Inggris lainnya seperti Manchester atau Birmingham, di mana di kota-kota tersebut lebih banyak masyarakat Indonesianya. Tapi disisi lain, kota pelabuhan di mana kapal Titanic yang legendaris itu memulai perjalanannya sebelum akhirnya tenggelam di samudera, cukup dekat dengan ibukota London. Dibutuhkan hanya sekitar 2 jam untuk menuju ke kota Big Ben itu. Jika rindu bersua dengan sahabat setanah air dan ada kesempatan, kami selalu berkunjung ke rumah saudara-saudara, atau ke Kedutaan Besar RI di London.
Setiap akhir minggu diadakan buka puasa bersama di KBRI, yang dilanjutkan dengan ceramah dan salat tarawih. Bagi anak-anak, juga diadakan pesantren kilat. Makanan yang dihidangkan sangat menggugah selera serta mujarab untuk mengobati kerinduan akan makanan Indonesia. Namun hal yang tak kalah pentingnya adalah kerinduan kami mendengar siraman rohani dalam bahasa Indonesia. Biasanya seorang ustaz diundang khusus dari Indonesia untuk mengimami salat sekaligus mengisi ceramah selama Ramadhan serta memberikan khutbah pada hari raya.
Sedangkan untuk wilayah London sendiri, banyak kegiatan keIslaman lainnya yang juga kadang-kadang kami ikuti. Seperti pengajian Al-Ikhlas di kawasan Wimbledon, yang jika diluar Ramadhan mengadakan pengajian tiap dua minggu sekali. Namun selama Ramadhan, buka puasa bersama, pengajian dan tarawih dilakukan setiap akhir pekan. Aktivitas-aktivitas seperti ini sangat dimungkinkan karena masyarakat Indonesia di sana jauh lebih banyak daripada kota-kota lainnya di Inggris, baik pelajar maupun yang bekerja.
Sayangnya kami tidak terlalu mudah untuk melakukan perjalanan ke luar kota sesering mungkin, mengingat jarak dan waktu yang dibutuhkan, ditambah cuaca Inggris yang sangat sulit diprediksi. Seringkali dingin menggigit walau bulan puasa tahun ini terbilang masih jatuh di penghujung musim panas. Terkadang hal ini menjadi kendala bagi sebagian orang dan agak menyulitkan bagi keluarga yang bepergian dengan anak kecil dan termasuk bayi kami.
Ceramah online
Kami menyadari akan perbedaan agama serta budaya dengan lingkungan sekitar, yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Jika tidak rajin menyegarkan pikiran dengan ilmu-ilmu Islam dan tidak ada yang menjadi pengingat untuk menyucikan hati, maka iman dan akhlak bisa terkikis sedikit demi sedikit.
Ada satu jalan, yang sering dilakukan teman-teman yang menetap di luar negeri. Untuk menyiasati agar tetap bisa menimba ilmu agama dan mengisi ruhiyah dalam kondisi yang penuh keterbatasan ini, kami mengikuti ceramah atau tausiyah online. Kemudahan akan fasilitas internet yang memungkinkan kami mengikuti ceramah online, bagai minuman segar bagi Muslim di Inggris yang dahaga pada tausiyah dan nasehat dari para ustaz yang memiliki keilmuan dan pemahaman Islam yang lebih baik.
Dengan ceramah online ini kami tetap bisa menyimak penuturan ustaz/ ustazah tanpa perlu beranjak keluar rumah, tak perlu repot berpakaian yang pantas untuk cuaca yang dingin, bahkan bisa sambil memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah ringan lainnya. Kecuali ketika sesi pertanyaan yang seringnya harus dilontarkan dalam bentuk tulisan.
Dengan ceramah online kami juga berkesempatan untuk mendengarkan uraian dari pembicara-pembicara hebat yang secara tatap muka mungkin akan sulit kami dapati. Misalnya Ust. Syamsi Ali di Amerika, Ust.Syamsudin Arif di Jerman, Ust. Abu Syauqi, Ust. Ihsan Tanjung, Dr. M. Syafii Antonio, Ust. Didin Hafiduddin dan banyak lagi pembicara-pembicara kondang lainnya di tanah air.
Selain ceramah agama, juga ada bincang-bincang mengenai masalah kesehatan yang diselenggarakan oleh Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya dan Sekitarnya (KIBAR) atau pembicaraan seputar topik keluarga dan anak-anak yang diselenggarakan oleh mailing list Jejak Daffodil Muslimah (milis JDM). Berbeda dengan milis JDM yang saat ini menitikberatkan dakwah hanya secara online, KIBAR juga mengadakan pertemuan bersama (gathering) dua kali setiap tahun di kota-kota di Inggris. Momen ini memungkinkan masyarakat Indonesia untuk ’kopi darat’ setelah selama ini berdiskusi dan berkomunikasi di dunia maya. Khusus di milis JDM yang anggotanya hanya dari kalangan muslimah, juga diadakan program belajar tajwid dan tadarus online serta penyampaian cerita Islami (Islamic story telling) untuk anak-anak secara online. Subhanallah, kemudahan teknologi telah menunjang dakwah dan ibadah.
Memang cara online ini tidak selalu ideal. Kadangkala terdapat kendala-kendala teknis seperti suara yang yang tidak jernih, sambungan telepon dengan pembicara yang putus-sambung, noise dari telepon dan sebagainya. Tapi untuk Muslim di Inggris yang tidak sering tersentuh dengan siraman rohani seperti halnya di Indonesia, ceramah online ini sungguh merupakan sebuah solusi dan sangat dinanti-nanti.
Makan Satu Nampan
Jumlah warga Muslim di Inggris tidak sama di setiap kota. Tapi komunitas Muslim tersebut memiliki warna yang kurang lebih sama. Ini karena dominasi saudara-saudara kita dari negara-negara Arab, Bangladesh, dan yang paling banyaknya adalah Pakistan. Mereka dulunya adalah pendatang tapi kini telah puluhan tahun menetap di negeri bunga mawar ini. Pun begitu, mereka memiliki komunitas sendiri yang bisa dikatakan cukup eksklusif, walau tidak semua Pakistani bersikap demikian.
Komunitas ini memiliki masjid sendiri, yang sekilas menimbulkan kesan tertutup bagi muslim yang lain. Karena suasana di dalamnya yang bernuansa agak ’kedaerahan’, dan terlebih lagi karena digunakan bahasa ibu mereka, bahasa Urdu, pada khutbah shalat maupun program-program kegiatan masjid lainnya. Sebagian dari mereka, terutama generasi tua memang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang sangat terbatas. Tapi tidak semua masjid demikian. Dan yang pasti, kmai tetap dapat singgah dan salat di masjid manapun.
Kami tinggal dalam lingkungan kampus karena suami kini bekerja di universitas, sehingga komunitas Muslim kami adalah Islamic Society (Isoc)-nya universitas. Anggota komunitas ini, seperti halnya unit kegiatan lainnya di universitas, sangat heterogen. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia. Dari Arab, Iran, Mesir, Somalia, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan lain-lain. Kebanyakannya adalah mahasiswa dan staf kampus beserta keluarganya, sekalipun juga terbuka untuk kalangan luar kampus.
Walaupun tidak memiliki masjid, setiap Ramadhan Isoc mencari tempat khusus semacam aula besar untuk dilaksanakannya ibadah-ibadah Ramadhan hingga hari Iedul Fitri tiba.
Setiap malam diadakan buka puasa bersama di sini. Acara ini sangat membantu para mahasiswa yang tidak sempat masak atau yang ingin menghemat pengeluaran alias mencari makan gratis. Karena selain untuk berbuka, makanan yang ada -jika berlebih- dapat dibawa pulang untuk makan sahur. Namun berbeda dengan menu buka puasa di Indonesia, di mana meja sarat akan makanan pembuka, belum termasuk menu utama. Berbuka puasa di sini, maka cukup dengan kurma dan air putih saja. Sesekali jika ada yang membawakan, ditambah dengan kue-kue sederhana.
Usai shalat magrib, kami duduk berhadap-hadapan dalam shaf-shaf. Makanan akan dihidangkan di dalam nampan, untuk disantap bersama 4-6 orang lainnya. Bukannya saling berebut, biasanya yang kerap terjadi malah saling menyodorkan makanan untuk dihabiskan oleh saudara lainnya.
Menu makanan biasanya tidak jauh-jauh dari nasi kebuli, sesekali nasi beriyani, dengan tumpukan ayam atau daging kambing ditengahnya. Sayurnya pun sangat bersahaja, potongan timun dan daun selada. Jika ada yang membuat semacam acar, itu sudah sebuah kemewahan.
Sebenarnya siapa saja boleh ikut andil sukarela memasakkan makanan berbuka. Syaratnya, asal nasi tidak putih polos. Harus berwarna atau minimal berasa atau wangi rempah. Karena menurut orang-orang Arab, jika nasi hanya putih polos begitu saja sulit untuk bisa melewati kerongkongan mereka. Sedang bagi lidah saya yang sangat Indonesia, nasi kering tanpa sayur seperti itu juga tidak selalu mudah untuk dinikmati. Tapi, inilah indahnya warna-warni budaya.
Setiap akhir pekan, buka puasa di sini lebih ramai karena banyak mahasiswa dan staff kampus yang datang bersama keluarganya. Menu makanan sedikit lebih mewah dengan lebih banyak makanan manis untuk berbuka, dan ada penceramah yang seringnya diundang dari kota lain. Tentu saja ceramahnya dalam bahasa Inggris. Jauh lebih baik daripada bahasa Urdu yang tidak kami mengerti sama sekali. (Amelia Azma, Ibu rumah tangga, Southampton, United Kingdom/ foto kiriman Ama Subchan)