Bayangkan: umat Muslim di wilayah pesisir yang juga jalur perbatasan antara Palestina dan Palestina itu menjalani malam-malam Ramadhan dengan tanpa listrik. Mereka berbuka puasa, shalat tarawih berjama’ah, dan sahur dengan keadaan gelap gulita.
Sejak diboikot Israel pasca menangnya sayap Hamas di wilayah tersebut, Gaza seolah kota yang terisolasi: kota yang susah air, susah listrik, susah BBM, bahan pangan, dan seterusnya. Kondisi ini kian parah pasca penyerbuan Israel terhadap wilayah yang luasnya tak lebih dari kota Depok itu awal tahun lalu.
Di senja hari pertama bulan Ramadhan, Abu Mahmud, salah seorang kepala keluarga yang tinggal di bilangan as-Shabrah yang sederhana, telah menyalakan lilin dan lampu minyak.
"Hari ini tak ada listrik, juga sampai malam nanti. Kami harus menyalakan lilin dan lampu minyak untuk pencahayaan di malam hari," katanya.
Dan petang itu, Abu mahmud beserta delapan orang anggota keluarganya, berbuka puasa di tengah remang cahaya lilin dan lampu minyak.
"Apakah masuk akal kita berbuka puasa di tengah gelap gulita?" tanyanya.
Di hari pertama bulan Ramadhan itu, arus listrik di rumahnya dan di bilangannya harus terputus selama delapan jam, karena mendapatkan giliran pemadaman. Maklum, pasca boikot dan serbuan Israel ke Gaza, listrik menjadi barang langka dan mahal.
"Boikot dan serbuan Israel ke wilayah kecil ini telah menghancurkan segalanya," tambah Abu Mahmud.
Meski demikian, Abu Mahmud dan muslim Gaza lainnya tetap merasa berbahagia dan bersuka cita menyambut datangnya bulan ramadhan yang penuh berkah ini. (L2/mi)