Tahun ini menandai lima kali Ramadhan saya habiskan di negeri tulip dan windmolen. Masyarakat Indonesia lebih mengenal windmolen dengan istilah kincir angin, ya betul, kincir angin negeri Belanda, negeri datar yang hampir seluruh daratannya lebih rendah dari permukaan samudra. Di tanah datar ini bunga tulip menyebarkan aroma khas pariwisata ke seluruh penjuru dunia. Tulip adalah Belanda.
Belanda, negara relatif kecil di Eropa Barat, dengan penduduk hampir 17 juta jiwa. Satu juta di antaranya adalah kaum muslimin yang sebagian besar adalah imigran asal Maroko, Turki, Iraq, Somalia, dan juga Indonesia. Tidak dipungkiri, hubungan sejarah Indonesia dan Belanda selama masa kolonial menjadikan pendatang maupun budaya Indonesia cukup mudah ditemui di negeri ini.
Ramadhan di Belanda, sebagaimana di negeri sub tropis lainnya, membutuhkan perjuangan ekstra. Selain kultur budaya dan agama yang berbeda, faktor alam pun membuat banyak perbedaan. Karena letak geografis Belanda jauh di sebelah utara garis katulistiwa, pada musim panas waktu siang jauh lebih panjang dibanding waktu malam. Tahun ini Ramadhan jatuh pada akhir musim panas di mana waktu maghrib tiba hampir pukul 21.00 malam dan subuh pada pukul 4.30 dini hari. Sehingga total waktu berpuasa tahun ini hampir 17 jam, jauh lebih panjang dibanding waktu berpuasa di Tanah Air.
Bagi saya di tahun kelima ini, Ramadhan di Belanda sudah menjadi biasa. Tidak ada lagi rasa kaget dan sepi ketika puasa dan berbuka, yang sering saya rasakan dulu ketika datang pertamakali ke negeri ini. Semarak aktivitas kaum muslimin di negeri Belanda sepanjang Ramadhan membuat saya tetap merasa feeling at home, walau tentu saja ada kerinduan tersendiri mendengarkan suara adzan bersahutan seperti di Tanah Air, karena di Belanda suara adzan umumnya dikumandangkan hanya untuk di dalam masjid.
***
Groningen, kota pelajar di utara Belanda, di sini pertama kali saya habiskan Ramadhan dua tahun pertama. Kota kecil nan damai inilah yang pertamakali merubah rasa sepi, rindu, dan terasing ketika datang ke negeri ini. Komunitas muslim di kota ini luar biasa hangat dan erat. Setiap akhir pekan selama Ramadhan selalu diadakan buka bersama oleh deGromiest – deGroningen Indonesian Moslem Society, komunitas Muslim yang terdiri dari para mahasiswa, pekerja, maupun mukimin asal Indonesia yang telah lama menetap di sekitar area Groningen.
Tidak jauh dari area Rijks Universiteit Groningen, ada sebuah rumah yang telah lama dijadikan masjid oleh warga muslim Groningen asal Maroko. Masjid ini dapat menampung sekitar 500 jamaah. Selama Ramadhan masjid ini penuh oleh jamaah tarwih maupun tadarrus Qur’an. Kami biasa memanggil masjid ini dengan masjid Selwerd. Selalu saya ingat pertama kali datang ke masjid ini adalah jabat tangan erat dan senyuman khas orang Maroko, sambutan yang biasa mereka berikan sebagai tanda ukhuwah dan persaudaraan.
Den Haag, kota pemerintahan, tempat sang Ratu Beatrix bermukim dan bekerja. Kota ini identik dengan masyarakat Indonesia karena mudah ditemui rumah makan, toko, maupun warga asal Indonesia. Dekat dengan pusat kota, berdiri megah masjid Al-Hikmah, masjid yang dibangun oleh KBRI dan warga Indonesia. Seperti halnya masjid-masjid lain, selama Ramadhan masjid ini pun semarak dengan ibadah shalat, tadarrus, tarwih, dan buka puasa.
Amsterdam, ibu kota Belanda sekaligus ikon pariwisata. Di sana semarak Ramadhan menemukan gairahnya. Sebuah organisasi Islam masayarakat Indonesia setiap tahun melaksanakan aktifitas Ramadhan dan tarwih bersama, tidak tanggung-tanggung, mereka selalu mendatangkan imam dan penceramah dari Tanah Air. Suatu kali seorang imam yang hafidz Qur’an datang dengan bacaan yang indah menggetarkan kalbu.
Karena kagum dengan hafalan dan bacaan Qur’an sang imam asal Indonesia ini, seorang wanita Maroko meminta sang imam untuk menikahinya. Sang imam telah berkeluarga, terimakasih ia ucapkan, dengan sopan ia menolaknya. Sumbangan mengalir deras dari para jamaah untuk sang imam yang memiliki yayasan da’wah dan pendidikan di Indonesia. Satu kali terlihat pula sebuah sepeda motor langsung dihibahkan seorang jama’ah tarwih sebagai infaq bagi perjuangan sang imam di Tanah Air.
Utrecht, kota central di tengah Belanda. Di sini ada Stichting Generasi Baru dan Yayasan Bina Dakwah. Mereka semua yayasan yang didirikan oleh masyarakat mukimin Indonesia di Utrecht. Selama Ramadhan kedua yayasan itu bekerjasama membangun semarak ibadah tarwih dan buka bersama.
***
Semarak Ramadhan di Belanda memang luar biasa. Para bule Belanda pun sudah maklum karena intensitas hubungan mereka dengan kaum muslim yang cukup besar. Dalam keseharian, nuansa sinis ala Geert Wilders jarang saya temui, alhamdulillah. Bagi saya sejauh ini, orang Belanda adalah keramahan dan kebebasan beragama.
Suatu pagi, seorang kolega saya di kantor, menawarkan secangkir kopi, minuman penyegar nan hangat yang sangat populer di Belanda. Dalam sehari orang Belanda bisa menghabiskan lima cangkir kopi. Saya tidak suka minum kopi, namun karena sering ditawari, akhirnya sekali-kali saya minum juga. Ini salah satu kebiasaan baik orang Belanda, setiap mereka pergi untuk ambil minum, mereka juga selalu menawarkan minuman untuk orang lain.
‘’Something to drink?’’
‘’No, thanks’’
‘’Are you fasting?, also not drinking? ‘’
Si bule Belanda ini geleng-geleng kepala, rupanya ia pikir saya puasa hanya tidak makan saja, dia sekarang sadar saya pun tidak minum. Sepanjang bulan Ramadhan itu si bule ini selalu melewatkan saya ketika ia pergi untuk minum kopi, sambil tersenyum ia bilang,
‘’Tot volgende maand’’
‘’Sampai (ketemu kopi) bulan depan’’
***
Eko Hardjanto
Eindhoven, 4 Ramadhan 1429 H