Alkisah ada seorang kontraktor yang bekerja pada sebuah perusahaan property ternama di Jakarta. Di usianya yang ke lima puluh tahun, telah terpikirkan olehnya untuk mengakhiri kariernya sebagai seorang kontraktor dan kembali kepada keluarga yang telah cukup lama ia tinggalkan. Materi yang selama ini ia cari sudah ia dapatkan. Harta dan kekayaan bukan lagi menjadi tujuannya, namun ia ingin mencari hakekat sebenarnya dari kehidupan ini. Dan tentunya mempersiapkan diri untuk kehidupan yang hakiki yaitu akherat kelak. Oleh karenanya pada pagi hari itu, sang kontraktor menghadap sang direktur dan mengajukan surat pengunduran dirinya.
Pada dasarnya sang direktur keberatan atas permohonan pengunduran diri bapak tersebut. Bagaimana tidak, selama ini bapak tersebut telah menjadi asset utama perusahaan. Keterampilannya tak perlu diragukan lagi. Perusahaan mencapai masa keemasan di masanya.
Setiap proyek yang ia tangani selalu berhasil. Beliau terkenal dengan kejujuran dan keprofesionalannya. Oleh karenanya, ketika sang kontraktor tadi mengajukan surat pengunduran diri, sang direktur mengajukan satu persyaratan. Yaitu untuk dibuatkan satu rumah lagi, rumah yang merupakan karya terbaik beliau sepanjang menjadi kontraktor dalam tempo satu tahun. Ketika mendengar syarat tadi, sang kontraktor sangat berkeberatan. Beliau ingin segera mengundurkan diri. Namun ternyata masih harus menjalankan tugas terakhir. Dengan sangat terpaksa, sang kontraktor menerima syarat yang diajukan sang direktur.
Ternyata hanya dalam tempo delapan bulan sang kontraktor mampu menyelesaikan tugasnya. Namun ternyata karyanya kali ini bukanlah karya terbaik, melainkan karya terburuk sepanjang kariernya. Bagaimana tidak, dengan perasaan terpaksa ia membangun rumah tersebut. Oleh karenanya kualitas bangunannya pun asal-asalan. Selesai membangun rumah tersebut beliau menghadap sang direktur.
“Ini kunci rumah baru yang menjadi syarat pengunduran diri saya,” kata sang kontraktor.
“Oh, tidak bapak. Sebenarnya rumah tersebut bukanlah untuk perusahaan. Melainkan itu merupakan hadiah untuk bapak atas pengabdian luar biasa bapak selama ini. Ambillah rumah tersebut.” jawab sang direktur.
Mendengar jawaban sang direktur, bapak tadi langsung lemas. Bagaimana tidak ternyata rumah yang ia bangun bukanlah untuk perusahaan, melainkan untuk dirinya. Mengapa ia tidak membangun rumah terbaik kalau ternyata itu untuk dirinya sendiri. Malahan rumah tersebut adalah rumah terburuk yang pernah ia bangun. Akhirnya bapak tadi menyesal atas apa yang ia lakukan. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Na’udzubillah. Semoga kita tidak bernasib sama seperti bapak tadi. Apalagi di bulan Ramadhan kali ini. Inilah kesempatan kita untuk melakukan segala amalan terbaik di bulan penuh rahmat ini. Bahkan kita harus menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terbaik sepanjang hidup kita. Mengapa kita harus melakukannya?
Jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena kita tidak pernah tahu apakah kita masih punya kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan. Bisa jadi ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Oleh karenanya kita harus menjadikannya sebagai Ramadhan terbaik. Hal ini perlu kita lakukan agar kita tidak bernasib sama dengan sang kontraktor tadi. Akhir yang menyedihkan karena di akhir kariernya sebagai kontraktor, ia malah menghasilkan karya terburuk bukan sebaliknya. Apalagi kita yang tidak pernah tahu masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan.
Sungguh sangat ruginya jikalau ini merupakan Ramadhan terakhir kita, namun ternyata kita malah melakukan amalan terburuk atau menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terburuk dalam hidup kita. Oleh karenanya saat ini mulai harus kita azamkan dalam diri kita untuk melakukan segala aktivitas sebagai aktivitas terbaik dalam Ramadhan kali ini. Sholat-sholat kita merupakan sholat terbaik yang pernah kita lakukan. Tilawah Qur’an kita merupakan tilawah terbaik. Shodaqoh kita merupakan shodaqoh terbaik. Dakwah kita merupakan dakwah terbaik. Apapun itu yang kita lakukan adalah yang terbaik. Siapa tahu ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Waallohu’alam bish showab.
Penulis : Adi Suharyanto, Menteri Agama Korps Mahasiswa Pemerintahan FISIPOL UGM