Oleh Irfan S. Awwas
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ, نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ الْمُطِيْعِيْنَ.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُهُ : أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
SETELAH kaum Muslimin melewati bulan yang paling mulia dan istimewa di sisi Allah Swt; kini kita berada di hari Idul Fithri, 1 Syawal 1431 H. Semoga Allah Swt menjadikan ibadah Ramadhan kita sebagai saksi yang meringankan kelak di yaumul akhir.Maka, kita patut bersyukur kepada Allah yang telah menunjukkan jalan hidayah, melimpahkan ni’mat-Nya, dan memenuhi kebutuhan makhluk-Nya, sehingga kita dapat menjalankan shalat Idul Fithri di tempat ini.
Maha suci Allah yang telah menciptakan siang dan malam. Sesungguhnya, setiap makhluk hidup membutuhkan sinar mentari agar tetap menyinari bumi dan malam untuk beristirahat; maka Allah Swt tidak menghentikan peredaran matahari, dan tidak mencabut perputaran malam, sekalipun sepanjang malam dan siang hari manusia bergelimang dalam dosa, mengingkari perintah Allah serta mengabaikan larangan-Nya.
Oleh karena itu, marilah kita bertaqwa kepada Allah agar kita menjadi manusia yang paling ideal menurut Al-Qur’an, karena Allah menyatakan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa”. Terhadap orang yang bertaqwa Allah Swt berjanji:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴿٧١
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memper- baiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”(Qs. Al-Ahzab,33:70-71)
Pola hidup taqwa, yaitu ta’at kepada Allah dan tidak maksiat kepada-Nya, semestinya menjadi agenda hidup umat Islam, agar Allah Swt berkenan menolong kita dalam urusan dunia, memberi solusi atas problema yang kita hadapi. Allah Swt berjanji, “siapa yang bertaqwa akan diberi jalan keluar terhadap segala persoalan dan akan diberi rezki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Qs.65:2-3)
Kemudian, kita sampaikan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah diutus Allah sebagai uswah hasanah (tauladan hidup terbaik) bagi manusia. Sebagai utusan Allah, beliau telah membuktikan kesempurnaan Islam dan menyeru manusia supaya berpegang teguh pada syari’at Islam, agar tidak tersesat jalan.
Dewasa ini, di Indonesia terdapat berjuta-juta manusia yang belum mendapatkan hidayah-Nya, mereka tetap kafir serta menentang Allah Swt. Celakanya, orang-orang kafir itu secara agresif dan terus menerus berusaha menambah jumlah pengikut, bersama dalam kesesatan, dengan memurtadkan umat Islam menggunakan senjata ideologi, ekonomi serta opini.
Untuk kepentingan ini, mereka menggunakan taktik manipulatif, memosisikan diri seolah-olah minoritas tertindas yang harus dilindungi dari ‘radikalisme’ kelompok Islam. Mereka menuntut perlakuan istimewa, memperotes sikap umat Islam terhadap non Islam, tanpa pernah mempersoalkan kejahatan non Islam terhadap umat Islam.
Maha Benar Allah Swt yang telah memberikan solusi ruhiyah, melalui do’a dalam surat Al-Fatihah, agar ditunjuki jalan hidup Islam yang dikaruniai Allah dan dijauhkan dari jalan hidup orang-orang Yahudi yang dimurkai dan jalan hidup orang-orang Nashrani yang tersesat.
Jalan hidup yang dikaruniai Allah adalah jalan yang diikuti Muhammad Rasulullah Saw, sebagaimana dalam firman-Nya:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan nabi itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali Imran, 3:164).
Allah Swt mengutus Nabi dari jenis manusia agar dia dapat diikuti dan dicontoh. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak ajaran beliau, sekalipun berbeda suku bangsa, etnis, ras, warna kulit, budaya dsbnya. Karena kebaikan Islam, bukan saja diperlukan oleh manusia tapi juga bermanfaat bagi siapa saja yang mengamalkannya.
Sedangkan jalan hidup orang-orang yang dimurkai dan tersesat adalah jalan hidup yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Bila kaum Muslim mengikuti jalan hidup, budaya serta adat istiadat mereka, pasti akan tersesat dari jalan kebenaran dan dimurkai Allah Swt.
الله اكبر الله اكبر و لله الحمد
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kehidupan yang dijalani bangsa Indonesia dewasa ini, bukanlah jalan hidup yang seharusnya dilalui. Beragam problem kehidupan yang kita hadapi, bukanlah problem yang lahir lantaran melaksanakan Islam. Tetapi justru karena umat Islam meninggalkan syari’at Islam, dan mengikuti jalan hidup orang-orang yang tersesat dan dimurkai Allah, sehingga petaka demi petaka datang menimpa.
Benarlah nubuwah Rasulullah Saw, akan datangnya suatu zaman setelah beliau, yang menimpa umat Islam seperti sabdanya:
يَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ مَا الإِسْلاَمُ إِلاَّ اِسْمُهُ ، وَمَا القُرْآنُ إِلاَّ رَسْمُهُ ، وَمَا المْسْجِدُ إِلاّ بُنْيَانَهُ يَتَابَاهُ بِهِ النَّاسُ [الطبراني]
“Akan datang suatu zaman pada manusia tiada tinggal dalam Islam kecuali namanya, tiada tinggal dalam Alqur’an kecuali tulisannya, dan masjid-masjidnya tinggal menjadi bangunan megah.” (ath-Thabrani)
Di zaman ini, betapa banyaknya orang yang mengaku Muslim, tapi seolah-olah jumlah mayoritas tidak berpengaruh signifikan dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur, tidak berperan dalam mengangkat harkat dan martabat kemuliaan negeri ini. Islam tinggal nama dan Al-Qur’an tinggal tulisan, akibat pengaruh fikrah serta ideologi anti syari’ah Islam menjajah aqidah dan mengintervensi pandangan hidup umat Islam.
Atas nama demokrasi, umat Islam dihambat melaksanakan syari’at Islam, padahal demokrasi bukanlah jalan mereka yang diberi karunia oleh Allah. Atas nama toleransi, aqidah umat Islam dikebiri dengan mengatakan semua agama sama saja. Dan atas nama hak asasi manusia, ajaran Islam dikoreksi dan melepaskannya dari ikatan Qur’an dan sunnah Nabi Saw.
Penetrasi pemikiran ini membuktikan bahwa Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, hidup di bawah bayang-bayang golongan kafir, kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah. Faktanya, dalam banyak kasus, penguasa negeri ini lebih mendengarkan aspirasi golongan kafir, lebih apresiatif terhadap tuntutan mereka daripada tuntutan umat Islam. Lebih renponsif terhadap problem golongan kafir daripada problema umat Islam, sehingga umat mayoritas selalu dituntut melindungi warga minoritas non Islam. Eksistensi umat Islam hanya dijadikan payung sekaligus tangga naik bagi setiap tokoh yang ingin bercokol di singgasana kekuasaan. Potensi kaum muslimin yang dahsyat hanya dijadikan andalan penarik gerbong suara disetiap pemilu atau pilkada tiba.
Bangsa ini bukan saja tidak bersyukur, bahkan kehilangan rasa malunya kepada Allah dan Rasulullah Saw. Bangsa kita sudah sering diremehkan negara asing, dan kita tidak malu. Umat Islam pun kena imbasnya. Betapa banyaknya orang yang mengaku Muslim, tapi mereka mengganti syari’at Allah dengan sistem jahilyah, tanpa rasa malu. Mereka menolak ajaran Islam, dan menerima paham sesat tanpa rasa malu.
Mereka mengingkari Allah, mengumpat Rasulullah, dan menghina Al-Qur’an, tanpa rasa malu. Ada juga orang Islam yang menjauhi masjid lalu menukarnya dengan mengunjungi klub malam, tanpa rasa malu. Para wanita bergaul bebas, menolak berpakaian jilbab untuk menutup aurat, lalu menggantinya dengan pakaian yoe can see, pakaian tanktop, tanpa rasa malu.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah: Sesungguhnya rasa malu merupakan fasilitas Ilahiyah, yang dimiliki orang-orang beriman, untuk menyelamatkannya dari fitnah, sehingga apabila ia berniat melakukan kemaksiatan ia akan malu kepada Allah. Ketika mata menyuruh untuk melihat kemungkaran, rasa malu menghalanginya dan berkata, jangan engkau lihat. Ketika telinga menyuruh untuk mendengar ucapan buruk, rasa malu mengatakan, jangan engkau dengar. Dan ketika kaki menyuruh untuk berjalan, rasa malu mengingatkan, jangan engkau berjalan untuk bermaksiat kepada Allah Swt.
Akan tetapi, jika seseorang sudah kehilangan rasa malu, maka ibarat kuda liar yang sulit dikendalikan, bebas berbuat sesuka nafsunya. Bagai sebuah ungkapan, “Idza lam tas tahi fasna’ ma syi’ta (Jika kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu).”
Dalam kaitan ini, patut kita renungkan pertanyaan Al-Qur’an:
فَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ ﴿١٩﴾
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah benar, sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang yang berakal saja yang bisa mengambil pelajaran.” (Qs. Ar-Ra’d, 13:19).
Sungguh tidaklah berakal, orang yang mengetahui syari’at Islam lebih baik dari demokrasi, tapi anti syari’at. Tidaklah berakal, orang yang meyakini bahwa masjid lebih baik dari bioskop, mushaf Qur’an lebih mulia dari majalah porno, membaca Qur’an lebih maslahat daripada berdangdut ria, dan bersahabat dengan orang shalih lebih baik dari penjahat; malah mengikuti perbuatan yang tidak baik itu.
Sama tidak berakalnya, orang yang ingin memberantas pelacuran, perjudian, malah menyediakan lokalisasi pelacuran dan judi. Menangkap para pemabuk, tapi membiarkan pabrik minuman keras beroperasi dan menerima pajak cukup besar dari pabrik tersebut. Ingin menyelamatkan generasi muda dari kerusakan akhlak, prilaku seks bebas dan narkoba, tapi membiarkan beredarnya majalah porno. Para artis mengadakan penyuluhan anti Aids/ HIV, tapi disaat lain mereka mengadakan kontes ratu bencong nasional, menggalakkan kawin sejenis.
Logika mana yang membenarkan, bahwa segala penyakit masyarakat (pekat) ini dapat diberantas tanpa melenyapkan penyebabnya?
Masalahnya sekarang, apakah rakyat Indonesia percaya bahwa syari’at Islam lebih baik dari demokrasi, dan Al-Qur’an serta sunnah Nabi lebih lengkap dan mulia dari KUHP warisan penjajah? Mengapa bangsa ini bangga mengikuti sistem hidup yang sudah jelas gagal memperbaiki tarap hidup masyarakat, gagal menghentikan terorisme dan korupsi, gagal mengatasi dekadensi moral dan kriminalitas, bahkan gagal meraih cita-cita hidup berbangsa dan bernegara?
Apa jadinya negara ini jika diurus oleh orang-orang yang tidak berakal, yang tidak bisa membedakan antara benar dan salah, antara korupsi dan gaji, antara muslihat dan maslahat? Apa jadinya nasib rakyat Indonesia, jika pejabat yang diamanahi menyelesaikan masalah korupsi, justru menjadi bagian dari jaringan para koruptor? Yang akan terjadi pastilah malapetaka, sebagaimana firman Allah Swt:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَةَ اللّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ﴿٢٨﴾
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (Qs. Ibrahim, 14:28).
Kenyataannya, negeri kita kian jauh dari rahmat Allah dan semakin akrab dengan azab. Dosa yang dilakukan secara individu maupun kolektif di negeri ini sungguh dahsyat. Potensi kebaikan tidak sebanding dengan kekuatan jahat yang merusak masyarakat. Amirul Mukminin, Ali bin Thalib ra berkata: “Tidaklah turun bencana kecuali diundang oleh dosa. Dan tidak akan dicabut suatu bencana kecuali dengan tobat.”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Penyebab Kebinasaan
الله اكبر الله اكبر و لله الحمد
Di hari Idul Fithri, saat kita bersimpuh di haribaan Ilahy, negeri kita tengah menghadapi begitu banyak persoalan hidup, dengan berbagai kejadian serta pengalaman yang memedihkan, seakan kita sedang berdiri di tepian jurang di malam gelap gulita. Peristiwa bencana alam terus melanda, kemiskinan, dekadensi moral yang kronis, korupsi yang menggurita. Segala musibah alam dan penderitaan ini datang bertubi-tubi, seakan negeri ini tengah menuai akibat dari kelakuan pemimpin mereka yang tidak Islami, amoral, ingkar janji, korupsi, dan tidak tunduk pada aturan Ilahy dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Marilah kita muhasabah, sekaligus koreksi total atas dosa apa yang tengah melingkupi penguasa serta rakyat negeri ini.
Kita tengah menyaksikan kemungkaran kolektif secara sistematis. Rasulullah Saw menginformasikan, bahwa sumber kerusakan di masyarakat yang terjadi di segala zaman disebabkan antara lain: pertama, kekuasaan Negara berada di tangan kaum munafiq. Nabi Saw bersabda:
لَنْ تَقُوْمَ السَّاعَةُ حَتَّىْ يَسُوْدَ كُلَّ قَبِيْلَةٍ مُنَافِقُهَا [رواه الطبراني]
“Tidak akan terjadi kiamat sebelum setiap kabilah dipimpin oleh orang-orang munafiq.” (Hr. ath-Thabrani)
Jika kekuasaan Negara berada di tangan orang munafiq, niscaya erosi iman akan melanda keyakinan umat, dan mengikis jiwa agama dari hati rakyat. Perilaku umat yang kering dari ajaran agama akan menyuburkan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah.
Di dalam Qur’an dinyatakan, model kepemimpinan di dunia ini hanya ada dua, yaitu pemimpin yang mengajak kepada an-Nur dan pemimpin yang mengajak kepada an-Nar. Pemimpin yang mengajak pada Nur (cahaya/petunjuk), disebutkan dalam Qs. Al-Anbiya, 21:73:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ ﴿٧٣﴾
“Kami jadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunai kan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka menyembah.”
Seorang pemimpin yang baik, dia memerintah dengan petunjuk Allah, dan menjadi pelopor kebajikan serta memotivasi rakyatnya untuk tekun beribadah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Itulah misi konstitu sional pemimpin taat pada kebenaran.
Alangkah baiknya jika para pemimpin negeri ini belajar pada kebijakan khalifah Umar Ibnul Khathab, tatkala rakyat yang dipimpinnya mengalami pacekelik. Beliau yang bergelar Al-Faruq, telah meletakkan dasar-dasar semangat saling membantu dan meringankan beban sesama, tentang bagaimana seharusnya para pemimpin berbuat pada saat rakyatnya mengalami penderitaan?
Pada masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab ra, pernah terjadi kemarau panjang, diikuti bencana alam, gempa bumi dan angin badai, sehingga kelaparan merajalela, wabah penyakit melanda masyarakat dan hewan ternak. Demikian sedih menyaksikan kondisi rakyatnya, sehingga beliau bersumpah tidak akan makan daging dan minum susu sebelum bahan makanan tersebut dinikmati oleh semua penduduk. Umar yang Agung berusaha keras menundukkan ambisi pribadinya, mengendalikan kepentingan diri dan keluarganya, demi mengutamakan kepentingan rakyat yang lebih membutuhkan.
Sehingga keluarlah ucapannya yang terkenal: “Bagaimana aku dapat memperhatikan keadaan rakyat, jika aku sendiri tidak merasakan apa yang mereka rasakan.”
Sungguh mulia hati Umar al-Faruq. Ucapannya tidak hanya retorika, bukan sekadar curhat kepada masyarakat, bukan cuma janji, tapi menjadi sikap politik dan karakteristik kepemimpinannya yang agung.
Apabila seorang pemimpin mempelopori kemungkaran, sama artinya menjerumuskan rakyat ke Nar (kesesatan/neraka).
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ ﴿٤١﴾
وَأَتْبَعْنَاهُمْ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ هُم مِّنَ الْمَقْبُوحِينَ ﴿٤٢﴾
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru manusia ke neraka dan di hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah la’nat kepada mereka di dunia ini, dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan dari rahmat Allah.” (Qs. Al-Qashas, 28:41-42).
Informasi ayat ini sungguh mengerikan. Sudah 65 tahun Indonesia meredeka, rakyat Indonesia seperti didorong-dorong ke jalan sesat menuju neraka. Indonesia menjadi pewaris aturan, undang-undang serta peradaban jahiliyah yang mengingkari petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Di zaman orla, Soekarno mendorong-dorong rakyatnyakeneraka melalui ideologi Nasakom (Nasionalis, agamamis, komunis). Zaman berganti orba, Soeharto mendorong rakyat ke neraka melalui asas tunggal. Pada era reformasi sekarang, penguasa mendorong rakyatnya keneraka melalui jalan demokrasi. Bahkan, baru-baru ini Kementerian Agama melakukan ‘deradikalisasi Al-Qur’an’ melalui penerbitan Al-Qur’an dan Terjemahnya versi terbaru (2010). Kita tidak tahu musibah apa yang menimpa nanti, tapi yang sudah pasti, kini negara kita kian jauh dari rahmat Allah dan semakin akrab dengan azab.
Ketika pemimpin eksekutif, legislative, dan yudikatif dijabat oleh orang-orang yang tidak mengindahkan agama, tidak terikat dengan hukum Allah dan Sunah Rasulullah, maka dia sulit membedakan yang benar dan salah, antara petunjuk Allah dan rayuan syetan, antara maslahat dan muslihat. Apabila penguasa durhaka yang mengendalikan pemerintahan, bersama mereka pastilah diikuti laknat, dan rakyat jadi korban utamanya. Disaat demikian, betapa sulitnya menemukan pimpinan yang shalih, cerdas dan berakhlak mulia; yang dapat dipercaya kejujuran dan keberaniannya dalam menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan.
Faktanya, di alam reformasi ini, banyak orang-orang yang naik jadi pemimpin, bukan karena reputasi intelektual maupun moral, melainkan popularitas dan banyak uang. Sudah banyak bupati, wali kota datang dari kalangan pengusaha, bahkan mantan wanita tuna susila, artis dangdut, pelawak, koruptor., atau orang-orang yang tidak jelas latar belakang ilmu maupun profesinya. Indikasi feodalisme pun kian merebak. Jabatan kepala daerah bisa diwariskan dari suami pada istri, dari ayah pada anak perempuan, atau menantu, persis seperti di zaman orde baru.
Dikala Indonesia dilanda berbagai krisis, mampukah seorang kepala daerah hasil KKN mengatasi problem hidup rakyat?
Seperti ungkapan seorang shalih, “Ketika agama dimuliakan di atas harta dunia, maka Allah Swt akan membuat dunia hina baginya. Dan ketika kita menyembah harta dunia, maka agama akan hilang dari lubuk hati dan para pencari dunia pasti akan mengalahkan kita.” Lalu, manfaat apa yang dapat diharapkan rakyat dari jenis pemimpin berkualitas rendah, dengan dosa sosial serta moral yang bertumpuk?
Penyebab kedua, adalah Ulama fasiq. Rasulullah Saw bersabda:
يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ عُبَّادٌ جُهَّالٌ وَقُرَّاءٌ فَسَقَةٌ [أبو نعيم والحاكم]
“Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang tekun beriba- dah adalah bodoh, sedang para ulama’ rusak moral dan pikirannya.” (Abu Nu’aim dan Hakim)
Ulama’ fasik, yang rusak moral dan pikirannya, suka mempermainkan agama, menyebabkan kalangan awam menjauh dari agama sehingga memberi peluang bagi penguasa untuk menjauhkan syari’at Islam dari praktek kehidupan, dalam mengatur pemerintahan dan Negara. Sebab, ulama’ yang sudah rusak akhlaknya dapat dengan mudah diperalat untuk merusak masyarakat.
Di negeri kita, ulama dan tokoh agama makin sering terlibat perebutan kuasa dan jabatan yang menggiurkan. Para pimpinan ormas Islam, kyai, muballigh dan ustadz, tidak bersemangat lagi menyerukan amar ma’ruf dan nahyu mungkar, malah beramai-ramai menyosialisasikan demokrasi, toleransi, dan hak asasi manusia di bawah bayang-bayang konsep golongan kafir yang diwariskan kaum Yahudi dan Nashrani. Tanpa disadari, mereka menambah jumlah orang kafir yang anti syari’at Islam.
Sementara partai politik sibuk mengakali rakyat dengan berbagai aturan yang jauh dari kepentingan rakyat. Para pejabat saling lempar tanggungjawab daripada mengurus rakyat yang kelaparan, terancam penggusuran, kehilangan tempat berteduh, dan terancam jiwanya oleh ledakan gas. .Sangatlah disayangkan, pemerintah seolah absen dan gagal melindungi rakyatnya dari ancaman kemiskinan, pemurtadan, pengaruh aliran sesat, serta provokasi orang-orang kafir.
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Wahai kaum Muslimin, di hari yang penuh barakah ini, marilah kita buktikan bahwa Umat Nabi Muhammad Saw. belum sirna di negeri ini, dengan menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. Marilah kita ikhlas dalam beragama, agar Allah menolong kita dalam urusan dunia.
Oleh karena itu, seruan untuk menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab, kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di atas landasan Syari’at Islam; bukan saja untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan penindasan. Tetapi juga untuk membebaskan masyarakat dari ancaman pemurtadan, jeratan paham sesat, serta intervensi asing, yang kini terus meruntuhkan harga diri bangsa kita.
Umat Islam hendaknya bersatu padu melawan kezaliman, aliran sesat dan misi pemurtadan, dengan mengambil hikmah dari ibadah shalat berjamaah. Jika kita berada dalam shaf shalat berjamaah di masjid, lalu ada yang menyenggol atau menginjak kaki, kita tidak pernah marah. Kita juga tidak merasa perlu menanyakan dari negeri atau suku apa saudara Muslim disebelah kita. Sebab, setiap Muslim datang shalat jamaah mengharap keridhaan Allah semata-mata, maka dia rela berbagi, bertenggang rasa, dan saling menguatkan dengan saudara Muslim lainnya. Allahu Akbar!
Munajat :
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita memohon kepada Allah, agar diberi keselamatan dari segala keburukan, diberi kebaikan yang paling sempurna, kehidupan yang sejahtera, waktu yang paling bahagia. Semoga Allah Swt berkenan memperperbaiki amal-amal kita dan membersihkannya dari kesyirikan serta kemunafikan :
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بِهِ بَيْنَتَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَآئِبَ الدُّنْياَ اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَابِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَاأَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظََلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَتَجْعَلِ الدُّنْياَ أَكْبَرَ هَمِّنَا وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَتُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. اَللَّهُمَّ الْعَنِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ اَوْلِيَآءَكَ. اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Ya Allah, ya Tuhan kami, bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang kiranya dapat menghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi ta’at kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke surga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi ta’at kepada-Mu; dan demi suatu keyakinan yang kiranya dapat meringankan beban musibah dunia kami. Ya Allah, ya Tuhan kami! Senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami dan kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang yang menzhalimi kami serta bantulah kami untuk menghadapi orang-orang yang memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau menjadikan musibah kami ini mengenai agama kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling besar, juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang kepada kami.