Namun memang, sebagian ulama dari hadits ini meng-qiyas-kan kurma dengan makanan yang manis-manis. Taqiyuddin Al Hushni, penulis kitab Kifayatul Akhyarmenukil pendapat Ar Rauyani yang menyatakan demikian:
وَيسْتَحب أَن يفْطر على تمر وَإِلَّا فعلى مَاء للْحَدِيث وَلِأَن الحلو يُقَوي وَالْمَاء يطهر وَقَالَ الرَّوْيَانِيّ إِن لم يجد التَّمْر فعلى حُلْو لِأَن الصَّوْم ينقص الْبَصَر وَالتَّمْر يردهُ فالحلو فِي مَعْنَاهُ
“dianjurkan berbuka dengan kurma atau jika tidak ada maka dengan air, berdasarkan hadits ini. karena yang manis-manis itu menguatkan tubuh dan air itu membersihkan tubuh. Ar Rauyani berkata: ‘kalau tidak ada kurma maka dengan yang manis-manis. karena puasa itu melemahkan pandangan dan kurma itu menguatkannya, dan yang manis-manis itu semakna dengan kurma’” (Kifayatul Akhyar, 200).
Namun pendapat ini perlu dikritisi karena:
- Nash hadits tidak mengisyaratkan illah secara tersirat maupun tersurat. Menetapkan sifat “manis” sebagai illah adalah ijtihad sebagian ulama, dan ini tidak disepakati.
- Kurma itu berkah. Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
( إنَّ مِن الشجَرِ لما بَرَكَتُهُ كَبركةِ المسلمِ ) . فَظننتُ أنَّهُ يعني النخلةَ ، فأردتُ أنْ أقول : هي النخلةُ يا رسولَ الله ، ثم التَفتُّ فإذا أنا عاشِرُ عَشَرةٍ أنا أحْدَثهُم فسَكتُّ ، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( هيَ النَّخلَة )
“Sesungguhnya ada pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”. Aku (Ibnu Umar) menyangka yang dimaksud adalah pohon kurma. Namun aku enggan “wahai Rasulullah, itu adalah pohon kurma”, maka aku berpaling. Karena aku terlalu muda untuk bicara kepada mereka, jadi aku diam saja. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberitahu jawabannya: “Pohon tersebut adalah pohon kurma” (HR. Bukhari 131, Muslim 2811).
Dalam kitab Sifat Shaumin Nabi fii Ramadhan (66) karya Syaikh Ali Al Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali dikatakan: “ketahuilah wahai hamba Allah yang taat, bahwa kurma itu memiliki keberkahan-keberkahan yang khusus yang bisa mempengaruhi hati dan membersihkannya. Ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengikuti sunnah”.
Jika demikian makanan manis tidak bisa di-qiyas kan pada kurma, karena makanan manis biasa tidak memiliki keberkahan ini.
- Konsekuensi dari qiyas ini berarti jika tidak ada kurma maka yang lebih dulu dimakan adalah makanan manis, jika tidak ada makanan manis baru air. Sedangkan nash mengatakan jika tidak ada kurma maka berbuka dengan air. Walhasil, ini bertentangan dengan nash. Dan qiyas itu tidak boleh bertentangan dengan nash.Ketika menjelaskan syarat-syarat qiyas, diaantaranya Syaikh Muhammad Husain Al Jizani mengatakan: “syarat ke delapan: illah-nya tidak menyelisihi nash atau ijma’. Ini jika illah tersebut merupakan hasil istinbath” (Ushul Fiqh Inda Ahlis Sunnah, 194)
- Banyak ulama menjelaskan alasan mengapa Nabi berbuka dengan kurma dahulu yaitu karena kurma itu manis dan makanan manis itu menguatkan tubuh orang yang puasa. Ini dalam rangka menjelaskan hikmah bukan illah.Hikmah berbeda dengan illah, Syaikh Sa’ad bin Nashir As Syatsri mengatakan: “perbedaan antara illah dan hikmah: illah adalah washfun mundhabitun (sifat yang terukur dan jelas batasannya), sedangkan hikmah tidak selalu berupa washfun mundhabitun. Misalnya safar adalah illah untuk bolehnya meng-qashar shalat, sedangkan ‘menghilangkan kesulitan hamba’ ini adalah hikmah (dari meng-qashar)” (Muqaddimah fii Ilmi Maqashid As Syari’ah, 7).
Namun qiyas Ar Rauyani ini bukanlah qiyas fasid karena sifat “manis” ini masih termasuk sifat yang munasib li binaa-il hukmi (sifat yang cocok untuk dijadikan bahan pemutusan hukum), namun merupakan qiyas yang lemah.
Dan pendapat Ar Rauyani (yang merupakan ulama Syafi’iyah) dibantah oleh banyak ulama fiqih yang lain, termasuk para ulama dari kalangan Syafi’iyah sendiri. Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:
“فإن عجز” عن الثلاث “فبتمرة” أو رطبة يحصل له أصل السنة “فإن عجز” عن الرطب والتمر “فالماء” هو الذي يسن الفطر عليه دون غيره خلافًا للروياني حيث قدم عليه الحلو وذلك للخبر الصحيح المذكور
“[jika tidak ada] tiga tamr atau ruthab [maka dengan satu tamr] atau ruthab. Maka dengan ini tercapai pokok sunnah. [Jika tidak ada] ruthab dan tamr [maka dengan air]. Inilah yang disunnahkan dalam berbuka, bukan yang lainnya. Tidak sebagaimana pendapat Ar Rauyani yaitu ia mendahulukan makanan manis. Pendapat ini (didahulukannya kurma dan air) berdasarkan hadits shahih yang telah disebutkan” (Al Minhajul Qawiim, 1/252)