Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,
Fungsi-fungsi Al-Qur’an dan konsekuensi keimanan kita terhadap Al-Qur’an telah penulis paparkan pada tulisan yang lalu. Setiap kalimat dan paragraf yang saya tulis, sungguh saya tulis dengan penuh keharuan dan kecintaan agar setiap muslim dapat memahami, dari tulisan itu, dan menghayati nilai agung dan kegunaan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Saya berharap kita semua sadar dan semakin mencintai Al-Qur’an. Ya, semakin mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Mengapa? Karena ia adalah kitab suci yang merangkum seluruh hidayah Allah yang terindah dan terlengkap yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah di bulan Ramadhan.
Kita sering kali terkecoh dan terjebak pada kecintaan terhadap dunia yang semu. Cinta kepada pasangan dan anak kita, cinta kepada pekerjaan dan harta kita, cinta kepada rumah dan kendaraan kita. Yang semuanya itu adalah semu dan sebatas alat atau instrumen dalam penghambaan diri kita kepada Allah ta’ala. Kita juga sering kali gemar dan hobi melahap dan membaca buku-buku karya manusia di bidang filsafat, sastra, kebudayaan, iptek, sosial politik atau yang lebih ringan dari itu seperti novel, majalah dan tabloid yang merangkum pemikiran dan realitas hidup manusia, baik dan buruknya. Entah sudah berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk hal-hal yang ujungnya tak lain menghadirkan nilai-nilai semu berorientasi duniawi semata.
Namun, kita lupakan dan tak sadarkan diri bahwa ternyata di depan kita, di rak buku kita, di tiap sudut masjid tempat kita beribadah ada sebuah kitab suci Al-Qur’an yang tak lain adalah kitab panduan hidup yang demikian indah bahasanya dan begitu dahsyat isinya yang merangkum seluruh jenis hidayah Allah yang terindah dan terlengkap untuk manusia.
Namun lagi-lagi, seberapa banyak waktu yang kita luangkan dalam sehari atau sepekan untuk membaca, merenungi dan mengkaji serta mengamalkan ‘surat-surat cinta’ yang datang dari Al-Khaliq, Pencipta kita semua, Allah ‘azza wa jalla? Yang isi kandungannya begitu dahsyat untuk mengatur dan merevolusi semua sudut pandang kita dalam mengelola dunia dan menjadikan diri kita agar layak menjadi khalifah di bumi ini!
Tanpa sadar, di bulan Ramadan ini, air mata mengalir melihat antusias seluruh lapisan kaum Muslim, anak-anak, remaja dan orang tua, dalam membaca Al-Qur’an. Kita juga acap terharu dan menangis saat mendengarkan lantunan qari’ dan hafiz Qur’an yang mengimami jamaah salat tahajjud di malam-malam i’tikaf 10 hari terakhir Ramadan. Kesyahduan Al-Qur’an begitu meninggalkan kesan yang mendalam bagi mukmin sejati.
Penulis pun berharap kesyahduan dan kekhusyukan kita membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, dalam intensitas yang sama dapat muncul pada saat kita berusaha menjabarkan dan mewujudkan inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an di alam realitas.
Kecintaan yang menggebu terhadap Al-Qur’an itulah yang mendorong penulis untuk menuangkan tulisan-tulisan berupa panduan praktis bagi kaum Muslimin saat berinteraksi dengan Al-Qur’an, agar hidayah Allah itu dapat kita wujudkan.
Namun sebelum kaidah-kaidah panduan praktis itu penulis ketengahkan, marilah sejenak kita mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa Nuzulul Qur’an yang jatuh pada 21 Ramadan ini (lihat kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syekh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri, hlm. 80-81 footnote (2) dengan alasan diantaranya keterangan dari hadis-hadis bahwa beliau diutus Allah pada hari Senin yang masyhur sementara hari Senin pada bulan Ramahan tahun bi’tsah itu adalah tanggal 7, 14, 21 dan 28, sedangkan keterangan gabungan dari Al-Qur’an dan sunah menyatakan Al-Qur’an turun pertama kali di bulan Ramadhan saat Laylatul Qadr dan itu adalah malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan. Sehingga hari Senin 21 Ramadhan tahun itulah yang paling tepat sesuai keterangan Al-Qur’an, hadis dan ilmu penanggalan falak. Meskipun Syekh Muhammad Al-Khudori Beik dari Mesir memilih tanggal 17 Ramadhan sebagai awal Nuzulul Qur’an dalam kitab Muhadlarat Tarikh Al-Ummat Al-Islamiyyah, yang dijadikan rujukan Muslimin di Indonesia).
Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,
Kasih dan sayang Allah ta’ala kepada manusia sungguh tak terbatas. Tak cukup dengan menciptakan, menyempurnakan ciptaannya, memberi dan menjamin kecukupan rezeki bagi makhluknya, namun Ia juga memberikan petunjuk (hidayah) tentang tata cara yang benar (manhaj) dan jalan hidup yang pasti (syariah) bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di muka bumi. Perhatikanlah ayat-ayat Allah berikut ini;
(1). Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, (2). Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’la).
Setelah menceritakan drama kosmis manusia pertama di surga yang menyebabkan terlemparnya Adam dan istrinya Hawa’ ke Bumi, Allah ta’ala telah menetapkan aturan menjalankan kehidupan di muka bumi;
(38). Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati," (QS. Al-Baqarah).
Petunjuk Allah ta’ala yang diberikan kepada para nabi dan rasul-Nya itu, dalam untaian wahyu-wahyu itu berkulminasi dan berakhir pada hidayah Al-Qur’an yang dinuzul-kan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Rasul akhir zaman, Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. Allah ta’ala berfirman;
(18). Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (19). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (20). Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini (Q.S Al-Jatsiyah).
Mukjizat Petunjuk Al-Qur’an
Saudaraku yang dimuliakan Allah ta’ala,
Al-Qur’an adalah kitab yang mukjizat, tak akan pernah ada dan bisa seorang ataupun berkelompok dari jenis manusia atau jin sekalipun yang dapat membuat kitab yang isi dan redaksinya bisa menandingi kitab Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman;
(88). Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (89). Dan Sesungguhnya kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan (pelajaran hidup), tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya) (QS. Al-Isra’).
Bertolak dari ayat tersebut, saya berkesimpulan bahwa ketidaksanggupan dan kelemahan manusia dan jin atau kolaborasi di antara mereka untuk menandingi Al-Qur’an, yang oleh para ulama disebut mukjizat (karena mereka tak sanggup dan lemah –‘ajzu- membuat tandingannya), tak hanya disebabkan oleh redaksi bahasa dan sastra Arab Al-Qur’an yang begitu memukau dan memesona. Namun ketidaksanggupan itu juga mencakup isi dan kandungan, yang diungkapkan oleh ayat ‘sharrafna fi hadzal Qur’ani min kulli matsalin. Artinya selain karena keagungan bahasa dan sastra Al-Qur’an yang menyebabkan mereka tak dapat menandinginya, faktor isi kandungannya –matsal- itulah yang menyebabkan kebanyakan manusia menolak dan mengingkari Al-Qur’an (fa abaa aktsarun nasi illa kufuro), seperti dinyatakan pada akhir ayat 89 surah Al-Isra’ itu.
Karya tulis para pakar dan ahli Al-Qur’an seputar kehebatan dan kedigdayaan bahasa dan sastra Al-Qur’an telah banyak ditelurkan di masa klasik dan era keemasan Islam. Namun, membatasi aspek kemukjizatan Al-Qur’an hanya pada aspek kulit luar, keunggulan bahasa dan sastranya saja, sungguh tindakan yang lancang dan menzalimi hakikat Al-Qur’an dan fungsi-fungsinya. Terlebih lagi hal itu juga menzalimi dan mengecilkan kebesaran dan keagungan Allah ta’ala yang mentanzilkan Al-Qur’an untuk tujuan mulia sebagai ‘pedoman’ (bashoir), ‘petunjuk’ (huda), dan ‘rahmat’ bagi manusia, sebagaimana QS. Al-Jatsiyah; 20 di atas.
Jika penonjolan aspek kulit luar bahasa Al-Qur’an dalam karya ulama klasik dapat difahami karena untuk tujuan:
1) membela Al-Qur’an dari serangan kaum-kaum kafir dan atheis yang menebarkan keraguan tentang otentisitasnya sebagai wahyu dari Allah ta’ala, dan
2) meneguhkan cita rasa bahasa Arab di tengah kaum Muslimin yang khususnya berkonsentrasi di jazirah Arab dan sekitarnya.
Maka kini, dengan telah tersebarnya Al-Qur’an ke seluruh dunia dan Islam dipeluk tak hanya oleh orang Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, melainkan juga bangsa Melayu, Cina, Eropa-Amerika, Afrika dan lain-lain, sudah seharusnya penekanan kemukjizatan Al-Qur’an tak hanya bermodalkan ketinggian aspek sastra Al-Qur’an, namun harus mencakup keunggulan syariah dan hidayah Al-Qur’an sebagai inti tujuan diturunkannya Al-Qur’an ini ke tengah-tengah umat manusia.
‘Maqashid’ Nuzul Al-Qur’an
Jika kita telah menyadari bahwa bahasa Arab adalah media, alat dan instrumen (wasa’il) dalam menampilkan keunggulan dan keistimewaan inti ajarannya sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi manusia dan semesta alam, bahwa bahasa Arab mutlak harus kita pelajari agar bisa mengakses mutiara petunjuk Al-Qur’an, ya, tentu saja kaum Muslimin juga harus membuka mata dan telinga serta hatinya lebar-lebar untuk menangkap maksud dan inti tujuan Allah ta’ala menuzulkan hidayah-Nya di dalam Al-Qur’an ini.
Sebelum mereka siap mendakwahkan petunjuk Allah bagi alam semesta ini kepada kaum-kaum selain mereka, kaum Muslimin tanpa kecuali harus membuka gembok dan menerobos dinding tebal yang selama ini telah mengunci mata hati dan alam pikiran mereka, yang berakibat tujuan-tujuan inti Al-Qur’an itu tak dapat dimengerti dan diterima oleh mereka. Oleh sebab itulah, Allah ta’ala mendorong kita untuk mentadabburi Al-Qur’an agar gembok dan dinding yang menghalangi kita menangkap esensi Al-Qur’an menjadi terbuka lebar. Allah ta’ala berfirman;
(24). Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S Muhammad)
Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,
Sejauh pembacaan dan penelusuran penulis terhadap tulisan dan pikiran para pakar dan ahli Al-Qur’an era klasik dan modern, tak ada uraian yang lengkap dan sebaik ulasan Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H, 1865-1935 M) dalam kitab berjudul Al-Wahyu Al-Muhammadi tentang esensi dan tujuan hidayah Allah di dalam Al-Qur’an untuk kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Poin-poin ‘Maqashid Al-Qur’an’ yang diuraikan oleh Rasyid Ridha ini adalah hasil tadabbur Al-Qur’an tingkat tinggi yang luar biasa. Pikiran dan hati kita, yang selama ini terasingkan dari hidayah Al-Qur’an, akan terbuka dan mengenal secara utuh misi dan tujuan di balik turunnya Al-Qur’an yang akan berdampak besar sebagai aktualisasi manhaj Allah ta’ala dalam kehidupan seluruh umat manusia. Ringkasannya adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan hakikat tiga rukun agama yang menjadi dakwah seluruh nabi dan meluruskan kesesatan para pengikut mereka di dalamnya. Rukun pertama, beriman kepada Allah ta’ala. Rukun kedua, beriman kepada hari akhir. Rukun ketiga, beramal shaleh yang benar.
2. Menjelaskan hakikat dan fungsi kenabian dan risalah-Nya untuk umat manusia.
3. Menyempurnakan jiwa manusia dalam semua tingkatan; individu, kelompok dan bangsa-bangsa.
4. Mereformasi kultur kemanusiaan di tingkat sosio-politik-kebangsaan dengan pan-Islamisme melalui 8 pilarnya;
1) kesatuan asal umat manusia,
2) persamaan kedudukan di antara semua bangsa dan suku tanpa diskriminasi,
3) kesatuan agama universal dengan mengikuti satu orang rasul,
4) persamaan di depan hukum Islam,
5) kesatuan agama dan persamaan derajat kaum beriman dalam semua jenis peribadatan,
6) kesatuan kewargaan politik global bagi muslim dan non-muslim,
7) kesatuan dan independensi pengadilan dan kehakiman,
8) kesatuan identitas dan orientasi bahasa persatuan Islam (bahasa Arab).
5. Menjelaskan keunggulan syariah Islam dalam 10 aspek;
1) moderasi yang mengombinasikan hak-hak ruhani dan fisik/maslahat dunia-akhirat,
2) bertujuan meraih kebahagiaan dunia-akhirat,
3) bertujuan saling mengenal dan menyatukan antar manusia,
4) mudah dan tak menyulitkan,
5) menjauhi sikap beragama yang ekstrim,
6) sedikit dan mudah difahami,
7) ada ‘azimah (kewajiban) dan rukhsah (dispensasi) di dalamnya,
8) perbedaan kapasitas akliah dan pemahaman diakomodasi dalam penentuan hukum dari Qur’an dan sunnah Nabi,
9) menilai manusia dari lahiriahnya dan menyerahkan soal batin kepada Allah ta’ala,
10) inti ibadah secara zahir adalah ittiba’ kepada nabi dan secara bathin adalah niat yang lurus dan keikhlasan kepada Allah ta’ala.
6. Menjelaskan sistem pemerintahan dan politik Islam seperti kedaulatan ummat; yaitu hak mengangkat dan memakzulkan pemimpin di tangan umat, syuro dalam pengambilan keputusan, imam adalah mandataris dan pelaksana aturan syariat Islam, keadilan dan persamaan, larangan berlaku zalim.
7. Mereformasi sistem keuangan global dengan menetapkan 14 prinsip;
1) pengakuan hak milik pribadi dan pengharaman makan harta yang batil,
2) pengharaman riba dan judi,
3) larangan atas berputarnya kekayaan di tangan kaum elit kaya,
4) membatasi hak pengelolaan harta dari orang-orang yang belum dewasa,
5) kewajiban zakat di awal Islam yang terasa sosialisme mutlak,
6) merombak kewajiban zakat dengan prosentase tertentu,
7) kewajiban menafkahi istri dan kerabat,
8) kewajiban memenuhi kebutuhan orang yang darurat,
9) membayar kifarat (denda) setelah berdosa,
10) sunah bersedekah sukarela bagi yang membutuhkan,
11) mengecam israf (berfoya-foya) dan tabdzir (boros), bakhil dan kikir,
12) membolehkan pakai perhiasan dan rezeki-rezeki yang baik,
13) memuji sikap berhemat dan moderasi,
14) mengutamakan orang kaya yang pandai bersyukur daripada orang fakir yang bersabar,
8. Mereformasi sistem hankam (pertahanan – keamanan) dan filosofi perang dan damai serta perjanjian; dengan cara meminimalisir dampak-dampak buruknya dan membatasinya untuk kebaikan manusia.
9. Mereformasi kedudukan perempuan dengan adil dalam hak-hak agama, sipil dan kemanusiaan.
10. Merefomasi sistem perbudakan manusia dan menghapusnya dengan bertahap.
Luar biasa sekali cakupan misi dan tujuan Nuzulul Qur’an ini! Tak ada yang luput dari perhatian Al-Qur’an. Petunjuk Allah ta’ala itu mencakup seluruh segi dan aspek yang dibutuhkan manusia dalam upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jika kita sudah mengetahui itu semua, masihkah kita enggan membaca dan mentadabburi kandungan Al-Qur’an yang maha-dahsyat itu? Masihkah kita prioritaskan waktu luang kita untuk membaca dan menelaah karya-tulis manusia atau aktifitas-aktifitas keduniaan lain yang semu? Masihkah kita ‘letih’ mencari dan mengais-ngais formula petunjuk kebahagiaan untuk kehidupan kita? Pantaskah kita membelakangi Al-Qur’an dengan segala petunjuknya dan lebih mendengar ataupun membaca buku-buku motivasi dan how to yang belum tentu menjamin kebahagiaan buat kita?
Sebagian kita mungkin ada yang telah mengetahui kedahsyatan kandungan Al-Qur’an itu, namun lagi-lagi saya kuatir kita termasuk golongan orang yang sulit beriman kepada Al-Qur’an. Mereka inilah seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Kami telah mengalami masa yang panjang dalam perjuangan Islam, dan seorang dari kami telah ditanamkan keimanannya sebelum diajarkan Al-Qur’an, sehingga tatkala satu surah turun kepada Nabi Muhammad Saw. maka ia langsung mempelajari dan mengamalkan halal-haram, perintah-larangan dan apa saja batasan agama yang harus dijaga. Lalu aku melihat banyak orang saat ini yang diajarkan Al-Qur’an sebelum ditanamkan keimanan dalam dirinya, sehingga ia mampu membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir dan tak mengerti apa-apa soal perintah dan larangan dan batasan apa saja yang mesti dipelihara."
Kekuatiran ini sangat masuk akal, jangankan mengamalkan Al-Qur’an bagi yang pandai membaca dan telah memahami maqashidnya, apalagi jika dikaitkan dengan fakta bahwa di salah satu perguruan tinggi Islam yang berafiliasi kepada satu ormas Islam di Indonesia ini ditemukan angka 6,7 % saja dari mahasiswa yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Berapa banyak orang tua muslim dan guru-guru agama di institusi pendidikan kita mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang punya komitmen dan keprihatinan atas minimnya angka literasi (melek huruf) Al-Qur’an di negeri ini yang mayoritas muslim?
Mari kita tanya dan jawab sendiri dengan hati kita masing-masing. Jangan-jangan kita inilah generasi yang ditakutkan muncul oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Dari Ali Ibn Abu Thalib, dia berkata, “Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda, ‘Hampir datang pada manusia suatu zaman yang mana Islam hanya tinggal namanya dan al-Qur`an hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid mereka ramai (dengan manusia) tetapi ia kosong dari hidayah, ulama mereka adalah orang yang paling buruk di kolong langit ini, dari sisi mereka fitnah itu keluar dan ditengah mereka ia kembali.’” (HR. al-Baihaqi, dalam kitab Syu’ab al-Iman)
Sebelum terlambat dan kiamat segera tiba, masih ada waktu bagi ummat ini untuk bangkit dan mereposisi sikap, mental dan paradigma keilmuan agar sesuai dengan manhaj Allah dalam Al-Qur’an. Sebab, tidak akan ada kebangkitan hakiki dan sejati, jika umat ini tidak merujukkan diri dan kehidupannya berdasarkan petunjuk Kitabullah.
Sampai di sini dan jika hati dan pikiran anda telah siap untuk menerima dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi alam semesta, maka siapkanlah diri anda dari sekarang untuk menanggung segala konsekuensi dan resikonya. Apa dan bagaimana konsekuensi dan resikonya bagi kita yang telah mengerti dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an? Tulisan berikutnya akan mengupas masalah ini, Insya Allah.