Sampai disini dan jika hati dan pikiran Anda telah siap untuk menerima dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi alam semesta, maka siapkanlah diri anda dari sekarang untuk menanggung segala konsekuensi dan resikonya. Apa dan bagaimana konsekuensi dan resikonya bagi umat yang telah mengerti dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an?
Dari hasil tadabbur berbagai ayat Al-Qur’an, kita dapat memetik pelajaran dan pesan berharga tentang konsekuensi menjadikan Al-Qur’an sebagai petujuk dan pedoman hidup.
Pertama, meyakini hidayah Al-Qur’an sebagai satu-satunya pilihan, dan tak ada solusi lain selain dari Al-Qur’an. Inilah pesan yang diambil dari firman Allah ta’ala,
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ﴿١٩﴾ ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ ﴿٢٠﴾ مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ ﴿٢١﴾ وَمَا صَاحِبُكُم بِمَجْنُونٍ ﴿٢٢﴾ وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ ﴿٢٣﴾ وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ ﴿٢٤﴾ وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ ﴿٢٥﴾ فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ ﴿٢٦﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿٢٧﴾ لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ ﴿٢٨﴾
19. Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), 20. Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, 21. Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. 22. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. 23. Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. 24. Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. 25. Dan Al Qur’aan itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk, 26. Maka ke manakah kamu akan pergi ? 27. Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam, 28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. (QS. At-Takwir [81] : 19-28)
Setelah Allah ta’ala mengungkap bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an dari sisi Allah dengan menjelaskan sifat malaikat Jibril yang mulia sebagai perantara wahyu Allah, Ia menyatakan, “maka ke manakah kamu akan pergi?” fa ayna tadzhabuun. Pesan terdalamnya adalah setelah Allah jelaskan dengan bukti-bukti yang valid dan terang benderang akan kebenaran petunjuk Allah yang dituangkan di dalam Al-Qur’an sebagai satu-satunya jalan hidup bagi mereka, maka dengan metode dan cara atau manhaj apa lagikah yang ditempuh kaum beriman dalam menapaki kehidupan di muka bumi ini?
Apakah kita masih ragu dan bimbang, di tengah kepungan barang dagangan ideologi-ideologi buatan manusia, padahal sudah begitu terang dan lengkapnya petunjuk Allah dalam Al-Qur’an buat kita semua. Sebab Al-Qur’an tak lain adalah peringatan dan jalan hidup yang paling baik dan sesuai fitrah manusia, tentu saja bagi manusia-manusia yang mau menempuh jalan yang lurus. Itulah pesan ayat 27 dan 28 surah At-Takwir. Itulah juga pesan yang tersirat dalam firman Allah berikut ini,
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ ﴿٨٦﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿٨٧﴾ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ ﴿٨٨﴾
86. Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. 87. Al-Qur’an Ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. 88. Dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi. (QS. Shaad [38] : 86-66)
Kedua, jika kita mengaku sebagai kelompok orang berilmu maka yakinlah dengan kebenaran Al-Qur’an dan segala petunjuknya untuk kebaikan hidup manusia dan alam semesta. Jangan sampai kita terlambat mengakui kebenaran Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ta’ala hanya dengan membawa kebenaran. Sebab persoalan terbesar yang seringkali merintangi proyek peradaban Allah saat ingin diterapkan di bumi ini adalah ketiadaan iman dan ketidakyakinan orang muslim sendiri ataupun non-muslim bahwa Al-Qur’an adalah solusi kehidupan yang sempurna.
وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ﴿١٠٥﴾ وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً ﴿١٠٦﴾ قُلْ آمِنُواْ بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُواْ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿١٠٧﴾ وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً ﴿١٠٨﴾ وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا* ﴿١٠٩﴾
105. Dan kami turunkan (Al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. 106. Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian. 107. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, 108. Dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. 109. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. (QS. Al-Israa’ [17] : 105-109)
Ketiga, memformat ulang diri kita sebagai muslim agar selaras dengan tuntunan Al-Qur’an, dan memperbarui perangkat penerimaan akal dan kalbu kita seperti para sahabat saat menerima inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an.
Bangsa Arab sebelum Islam telah menjalani hidup mereka dengan sistem jahiliyah yang sesat dan kejam. Ketika Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diangkat sebagai rasul dan Al-Qur’an diturunkan kepadanya di tengah-tengah mereka, hal itu memunculkan ‘big bang’ dalam kehidupan mereka. Dengan Al-Qur’an, Rasul telah sanggup merubah mereka secara radikal (hingga ke akar-akarnya) dan membentuk mereka dengan celupan yang baru.
Al-Qur’an telah melahirkan revolusi akal dan persepsi di tengah mereka, merevolusi mental dan perasaan mereka dan juga merevolusi amal dan perilaku mereka. Hal itu terjadi karena mereka membuka akal dan hatinya untuk Al-Qur’an. Perangkat penerimaan mereka juga berjalan normal karena kesadaran untuk menerimanya dan kebebasan untuk memilih mana yang paling baik. Itu semua karena pengaruh Al-Qur’an yang telah merasuk ke dalam jiwa-jiwa mereka, seperti tergambar dalam firman-Nya,
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya (QS. Az-Zumar [39] : 23)
Para sahabat telah menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan dan pedoman hidup mereka. Dalam urusan apa pun, mereka selalu bersandar dan merujuk kepada Al-Qur’an. Setiap kali ada beberapa ayat Al-Qur’an turun, mereka bersegera melaksanakan dan mengamalkannya tanpa mengulur-ulur waktu, menunda apalagi ragu-ragu. Inilah yang membuat generasi pertama, sahabat, merupakan satu-satunya generasi Qur’ani yang unik (jayl Qur’ani fariid). Mereka tidak membaca Al-Qur’an untuk tujuan intellectual exercise, juga bukan untuk sekedar menikmati alunan merdu ayat-ayat yang dibacakan atau sekedar menambah besaran volume pahala. Namun ciri khas yang membuat mereka unik adalah mereka membaca dan mempelajari Al-Qur’an untuk diamalkan sesaat setelah mendengarnya.
Diantara sikap yang paling mengagumkan dalam sejarah umat manusia, ialah kepatuhan tanpa reserve dan kesegeraan mereka untuk melaksanakan syariat Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya, tanpa ragu-ragu dan menunda-nunda. Ya, tanpa ragu dan menundanya!
Pada era jahiliah, mereka semua mempunyai hobi berat menenggak khamr (minuman keras) dan menghidangkannya di berbagai jamuan. Sampai-sampai ada lebih dari 100 istilah nama bagi khamr yang mereka kenal. Allah yang Maha Pengasih dan Bijak tahu persis keadaan mereka ini, maka ia mengharamkannya dengan bertahap. Hingga pada akhirnya turun ayat yang tegas mengharam-kannya, di dalam surah Al-Maidah. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90)
Atas dasar ayat ini pula, Nabi Muhammad telah menetapkan pengharaman minum khamr dan menjualnya serta menghadiahkannya kepada orang-orang non-muslim. Tidak ada yang dilakukan para sahabat saat Al-Qur’an turun dengan tegas mengharamkannya, selain datang sambil membawa drum-drum, bejana dan botol-botol penyimpanan khamr, dan mereka tumpahkan semua khamr yang mereka simpan di jalan-jalan Madinah, sebagai pernyataan kebebasan mereka dari budaya minum khamr yang mengakar.
Sungguh ajaib, kebersihan jiwa yang telah diasah dan diasuh oleh nur/cahaya nubuwwah dan Al-Qur’an telah menyebabkan mereka tunduk patuh tanpa ragu kepada syariah Allah. Hingga dikisahkan, ada sebagian sahabat yang tengah mendengarkan ayat ini, sementara di tangannya ada segelas khamr dan sebagian sudah masuk ke mulut mereka, langsung dimuntahkannya, sambil berkata, intahayna ya Rabb intahayna.. (kami telah berhenti wahai Rabb, kami sudah berhenti!), sebagai respon firman Allah, “fa hal antum muntahuun?” (maka apakah kalian mau hentikan kebiasaan itu?) (QS. Al-Maidah [5] : 91)
Sikap dan mental yang sudah dimerdekakan Al-Qur’an itu sungguh luar biasa, dan itu tak hanya sebatas ditunjukkan kaum laki-laki di antara mereka. Kaum wanita pun menunjukkan sikap dan kepatuhan yang luar biasa, seperti halnya kaum laki-laki.
Para wanita muslimah yang telah mencerap cahaya petunjuk Al-Qur’an sangat mematuhi dan sigap melaksanakan perintah ataupun menjauhi larangan Allah. Ketika Allah ta’ala mengharamkan tabarruj (berhias dan bersolek) ala jahiliah dan memberikan solusi anti-tesis dari tabarruj, mereka semua patuh melaksanakannya. Sebagai ganti dari tabarruj, Allah ta’ala menetapkan life style baru bagi kaum wanita muslimah, yaitu dengan menjaga kehormatan, menutup aurat, memelihara adab dalam segala situasi dan kondisi, dan memakai jilbab atau khimar (dengan menjulurkan kerudung hingga menutupi dada bagian atas, hingga leher, dada dan telinga plus rambut tertutup semua).
Soal perubahan gaya hidup yang revolusioner dalam kehidupan wanita, terlebih dalam soal penampilan, perhiasan dan pakaian, Aisyah istri Rasulullah menggambarkannya sebagai berikut, “Semoga Allah merahmati para wanita muhajirin yang terdahulu. Ketika turun ayat, “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS. An-Nuur [24] : 31), seketika itu pula mereka merobek kain yang dimiliki lalu menggunakannya sebagai kerudung. (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain beliau berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak pernah melihat yang lebih utama daripada wanita-wanita Anshar, dan tidak pula lebih kuat pembenarannya terhadap kitabullah melebihi mereka. Saat turun ayat An-Nur, suami-suami mereka menemui mereka seraya membacakan ayat yang baru diturunkan oleh Allah ta’ala kepada mereka…Tak seorang pun wanita diantara mereka melainkan mengambil kainnya yang bergambar lalu mengerudungkan di kepalanya sebagai pembenaran dan iman kepada perintah Allah dalam kitab-Nya. Maka merekapun berada di belakang Rasulullah dengan berkerudung, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak”. (HR. Ibnu Abi Hatim)
Begitulah sikap para wanita muslimah ketika Allah menurunkan ketetapan syariah bagi mereka, tanpa ragu-ragu dan menunda-nunda. Ya benar, mereka tidak menunggu sehari dua hari atau lebih sampai mereka beli pakaian dan kerudung baru yang cukup lebar untuk terjulur ke dadanya. Namun segera mereka mengenakan kain apa pun yang didapatkan, warna apa pun yang ada yang dirasa sesuai dan cocok. Jika tidak ada, maka mereka merobek kain, gorden atau seprei kasur untuk mengerudungkannya di kepala, tanpa memedulikan penampilan, sehingga di atas kepala mereka seakan ada burung gagaknya.
Demikianlah keajaiban petunjuk Al-Qur’an, sehingga ia mampu mengubah semua sisi kehidupan tiap manusia yang dijumpainya, berubah total dari system jahiliah kepada Islam.
Keempat, siap dan rela untuk diatur oleh ketetapan Al-Qur’an dalam seluruh sendi kehidupan. Di antara fungsi Al-Qur’an sebagai hudan, petunjuk kebahagiaan untuk manusia, Ia juga semestinya menjadi dasar dan landasan bagi konstitusi kenegaraan dalam kehidupan masyarakat muslim. Sebagaimana Al-Qur’an harus menjadi rujukan kaum Muslimin dalam pelbagai soal akidah, ibadah dan akhlak, maka sudah sepantasnya Al-Qur’an menjadi landasan konstitusi bernegara dan politik dalam kehidupan umat Islam.
Karena sesuai karakternya, Al-Qur’an tak hanya kitab yang menunjuki jalan dari gelap ‘zhulumat’ menuju cahaya Allah (QS. Ibrahim [14] : 1), sebagai pembawa kebenaran dalam arti membenarkan dan menjadi batu ujian bagi apa yang Allah turunkan sebelumnya (QS. Al-Maidah [5] : 48), tetapi juga agar Al-Qur’an menjadi kitab rujukan, hukum dan perundangan dalam mengadili antara manusia. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا ﴿١٠٥﴾
Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat, (QS. An-Nisaa [4] : 105)
Bahkan ujung/ekor ayat tersebut turun berkaitan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada nabi saw. dan mereka meminta agar nabi membela Thu’mah dan menghukum orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. Lihatlah betapa hukum Allah itu pasti adil dan menentramkan, dan keadilannya juga mencakup non-muslim. Siapa pun yang berkhianat mesti dihukum, walaupun ia muslim. Dan Rasul pun dilarang untuk menzalimi pihak tertuduh, meskipun ia non-muslim, karena hanya untuk membela muslim yang berkhianat. Menegakkan hukum Allah pasti akan memberikan keadilan dan ketentraman, serta rahmat bagi alam semesta tanpa pandang bulu.
Inilah substansi ajaran Al-Qur’an tentang hakimiyyah Allah, yaitu hak membuat keputusan perintah syariat yang tertinggi hanya ada di tangan Allah ta’ala. Iman dan rida kepada Allah sebagai pembuat keputusan bagi hamba-hamba-Nya adalah konsekuensinya. Beriman terhadap hakimiyyah Allah itu ditegaskan Al-Qur’an sendiri soal kewajibannya. Allah ta’ala berfirman tentang pernyataan dua orang Rasul yang sukses mengokohkan dirinya sebagai pemimpin politik dan pemerintahan,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diperintahkan,
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am [6] : 57)
Nabi Yusuf ‘alayhi assalam berkata,
… إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾
“…Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12] : 40)
Bahkan Allah ta’ala karena begitu menekankan soal kewajiban berhukum kepada hukum-Nya semata, Dia tidak menggunakan perantara Rasul-Nya seperti lazimnya perkataan Rasul di dalam Al-Qur’an yang didahului redaksi “Qul” (katakanlah!). Betapa pentingnya hal itu, sehingga Allah ta’ala seakan Ia sendiri yang langsung menitahkan hal tersebut, dengan perkataan Rasul, menyatakan, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am [6] : 114)
Inilah rahasia mengapa surah Al-An’am yang berisikan ayat-ayat perintah dan larangan dengan metode talqin (pendiktean) dan ayat pentingnya berhukum dengan hukum Allah, diturunkan seluruhnya sekaligus dalam satu malam. Dan dari sinilah, kita dapat memahami betapa pentingnya kandungan surah ini bagi umat manusia yang dibimbing oleh Rasul, sehingga saat surah itu turun dibawa oleh Jibril ‘alayhi assalam, turut diiringi dan disaksikan oleh 70.000 malaikat yang bergemuruh membaca tasbih dan tahmid kepada Allah ta’ala. (HR. Thabrani dari ‘Abdullah ibn Umar)
Resiko Menjadikan Al-Qur’an sebagai Way of Life dari hasil tadabbur berbagai ayat Al-Qur’an, kita diharuskan siap menanggung resiko jika kita berkomitmen berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
1. Harus siap menerima ejekan, hinaan dan pendustaan serta bahan tertawaan dari orang-orang yang memusuhi hidayah Allah.
وَقَالُواْ يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ ﴿٦﴾
Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. (QS. Al-Hijr [15] : 6)
وَعَجِبُوا أَن جَاءهُم مُّنذِرٌ مِّنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ ﴿٤﴾
Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. (QS. Shaad [38] : 4)
وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ ﴿٥١﴾
Dan Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Qur’an dan mereka berkata, “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”. (QS. Al-Qalam [68] : 51)
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِّيَقُولواْ أَهَؤُلاء مَنَّ اللّهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ ﴿٥٣﴾
Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman), “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?” (QS. Al-An’am [6] : 53)
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُواْ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ ﴿٢٩﴾ وَإِذَا مَرُّواْ بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ ﴿٣٠﴾ وَإِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمُ انقَلَبُواْ فَكِهِينَ ﴿٣١﴾ وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاء لَضَالُّونَ ﴿٣٢﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. (QS. Al-Muthaffifin [83] : 29-33)
2. Persiapkanlah diri Anda untuk menjawab segala bentuk pendiskreditan ajaran Islam. Sebab musuh-musuh agama selalu mendiskreditkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan melontarkan keraguan dan kampanye-kampanye hitam, serta menyebarkan argumen-argumen lemah seputar ajaran Islam, diri dan kepribadiannya. Itu semua dilakukan secara massif dengan tujuan menghalangi masyarakat luas untuk merenungi ajakan dan seruan Al-Qur’an. Kitabullah telah merekam segala jenis pendiskreditan itu, diantaranya:
وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ﴿٥﴾
Dan mereka berkata, “(Al-Qur’an itu adalah) dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, Maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS. Al-Furqan [25] : 5)
وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاؤُوا ظُلْمًا وَزُورًا ﴿٤﴾
Dan orang-orang kafir berkata, “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain (yang sudah masuk Islam)”; Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. (QS. Al-Furqan [25] : 4)
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا ﴿٧﴾
Dan mereka berkatam “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (QS. Al-Furqan [25] : 7)
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ ﴿١٠٣﴾
Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An-Nahl [16] : 103)
3. Kuatkanlah tekad dan amal Anda untuk terus hidup bersama di bawah bimbingan Al-Qur’an. Sebab musuh-musuh Al-Qur’an akan menghalangi manusia agar tidak mendengarkan Al-Qur’an dan menyibukkan mereka dengan hal-hal lain dari Al-Qur’an, atau menandingi Al-Qur’an dengan kisah-kisah legenda masa lalu. Bahkan upaya untuk mengalihkan umat dari petunjuk Allah yang abadi, universal dan absolut yang terangkum di dalam Al-Qur’an, terus digencarkan. Sehingga banyak diperkenalkan isme-isme dan ideologi manusia ke tengah umat untuk menggantikan ideologi Al-Qur’an atau lebih halusnya lagi dengan mencocok-cocokkan Al-Qur’an dengan ideologi lain bikinan manusia dan bahkan menjustifikasi isme dan ideologi lain dengan dalih ayat-ayat Al-Qur’an.
Mari kita bercermin kepada siroh nabi. Dalam perjuangan menegakkan supremasi dinul Islam, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu dikuntit dan dibuntuti orang seperti An-Nadhr ibn Al-Harits. Bahkan, ia sengaja pergi ke Hirah untuk belajar dan mendalami kisah-kisah raja-raja Persia dan pahlawan mereka seperti Rustum dan Isfandiyar. Setiap kali Rasulullah saw selesai berdakwah di sebuah majelis, dia selalu menguntit Rasulullah dan langsung menggelar pengajian baru dan berkhotbah: demi Allah, sungguh Muhammad tidak lebih baik dari aku, dengan mengisahkan para raja dan pahlawan negeri Persia, ia berkata, “Dengan apakah Muhammad di mata kalian lebih baik khotbahnya dari aku?”
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Suatu hari An-Nadhr membeli budak perempuan yang cantik, pada setiap saat ia mendengar ada orang yang mau masuk Islam ia segera bergegas mendatangi orang itu dan perintahkan budak perempuannya supaya segera ‘melayani’ orang yang mau mendapatkan hidayah itu dengan memberinya makan, minuman keras dan nyanyian-nyanyian. Sambil berkata: hai orang bodoh, ini semua lebih baik dari pada kamu ikuti ajakan Muhammad! Maka turunlah firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman [31] : 6)
Dan dalam perjalanan Islam seterusnya, terlebih-lebih di era penuh fitnah terhadap Islam dan Al-Qur’an ini, akan terus bermunculan orang-orang dan kelompok yang satu tipe dengan An-Nadhr ibn Al-Harits ini, baik di kalangan yang di luar Islam maupun kalangan Islam sendiri, yang selalu berkampanye hitam dan mendiskreditkan serta memojokkan ajaran Al-Qur’an. Menghadapi berbagai tantangan itu maka kita harus bersabar dan semakin kokoh keimanan kita sampai Allah ta’ala memberikan kemenangan atas kaum beriman. Pun, jika bukan kemenangan nyata di dunia ini, maka di akhiratlah kita meraih kemenangan sejati dengan rida Allah ta’ala,
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَاعْتَصَمُواْ بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِّنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا ﴿١٧٥﴾
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (QS. An-Nisaa’ [4] : 175)
Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala, Ketahuilah bahwa Allah ta’ala telah berjanji, dan janji-Nya tak mungkin Ia ingkari, akan menjadikan kaum beriman yang mengimani dan mengamalkan hidayah Al-Qur’an berkuasa dan kedudukan mereka akan diteguhkan, “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24] : 55)
Namun sudahkah kita memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku bagi pemenuhan janji tersebut? Yaitu dengan istikamah mengabdi hanya kepada Allah, berpedoman hanya kepada syariah dan hidayah Allah, dan tidak menyekutukannya dengan apa pun jua dalam semua aspek kehidupan kita.
Begitu pula, Mahabenar Allah ta’ala saat Ia menjanjikan Ibrahim ‘alayhi assalam menjadi pemimpin seluruh umat manusia, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Namun, ketika Ibrahim ‘alayhi assalam meminta jaminan serupa agar berlaku bagi anak cucu keturunannya, Allah ta’ala tidak mengabulkannya dengan alasan para anak cucunya kelak ada yang zalim dengan meninggalkan petunjuk Allah dan lebih memilih dunia yang hina, Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah [2] : 124)
Nikmat luar biasa dari Allah ta’ala yang diberikan kepada Bani Israel ternyata diingkari dan disalahfungsikan, “Tanyakanlah kepada Bani Israil, ‘Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah kami berikan kepada mereka’. Dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 211)
Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada Bani Israel? Allah ta’ala mewartakan tabiat buruk mereka yaitu suka menukar hidayah Allah yang tak ternilai harganya dengan harta benda dunia yang rendah harganya.
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُواْ الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الأدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مُّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لاَّ يِقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقَّ وَدَرَسُواْ مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ ﴿١٦٩﴾
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A’raf [7] : 169)
Peringatan demi peringatan dari Allah ta’ala kepada Bani Israel yang terekam di dalam wahyu Allah yang terakhir itu tak lain adalah agar kita umat Islam tak mengulangi kesalahan fatal yang telah dilakukan Bani Israel. Hampir sepertiga Al-Qur’an berisi sejarah bangsa-bangsa yang durhaka hingga mereka dibinasakan, porsi terbesarnya adalah sejarah panjang kedurhakaan Bani Israel ini.
Di tengah kita, sering dijumpai komponen umat yang mengaku dirinya para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, tiap kali disebut nama Rasulullah Saw. mereka menangis tersedu-sedu, namun setelah itu mereka tak perduli apakah kehidupan mereka setelah ini berhukum kepada syariah selain dari Allah, dan tidak ambil pusing apakah kehidupan masyarakat di sekitar mereka seluruhnya telah jauh menyimpang dari manhaj Allah ta’ala yang disiarkan oleh Rasulullah. Islam bukanlah dan tidak pernah menjadi seperti ini wahai kaum Muslimin.
Allah ta’ala berfirman,
لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلاَ يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللّهِ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا ﴿١٢٣﴾
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. An-Nisaa [4] : 123)