Saudaraku yang dimuliakan Allah ta’ala,
Barangkali ada sebagian di antara kita yang belum utuh memahami fungsi Al-Qur’an sehingga model interaksi kita dengan Al-Qur’an ini juga menjadi parsial dan tak produktif. Di antara sekian banyak motif orang gemar tilawah Al-Qur’an jika disurvei barangkali adalah karena besaran pahalanya yang begitu luar biasa.
Tulisan ini akan mengupas beberapa fungsi Al-Qur’an dalam kehidupan umat manusia, agar kita dapat seimbang dan adil memuliakan Al-Qur’an dan tak hanya sekedar puas dengan kuantitas bacaan dan besaran pahala yang kita raih, wabil khusus di bulan Ramadhan ini.
Pertama, sebagai buku daras pendidikan Islam.
Hal itu tak lain karena Al-Qur’an adalah kitab pendidikan yang ditanzilkan khusus oleh Allah Swt. untuk menempa umat agar menjadi umat terbaik. Di antara dua sampul kitab ini (ma bayna daffatayhi) terdapat seluruh anasir pendidikan manusia yang paripurna.
Setiap kalimat dan ayat dalam kitab itu hakikatnya adalah orientasi dan arah pendidikan yang luhur untuk membentuk manusia yang shalih dan layak menjadi khalifah di bumi ini. Orientasi dan arah pendidikan itu meliputi berbagai aspek seperti ibadah, akhlak, jenis-jenis larangan, aturan perundangan yang mengatur kehidupan, kisah-kisah yang inspiratif (cermin orang sholih dan pelajaran dari orang durhaka), gambaran hari kiamat, perhitungan amal, pahala dan siksa, dan nalar kritis yang menuntun kita menyingkap rahasia Allah di alam semesta dan hukum-hukum sosial umat manusia.
Kedua, sebagai buku panduan syariah.
Islam adalah syariah yang total dan komprehensif. Ia mencakup hubungan manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan penguasa dengan rakyat, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tiada satu aspek pun dalam aktifitas seorang muslim yang tidak mengacu kepada Al-Qur’an sebagai acuan utama syariah Islam, tentunya dengan sunah Nabi Saw. sebagai pemerinci ajaran dasarnya. Juga tak mungkin bagi seorang mukmin boleh keluar dari aturan kitab suci meskipun kondisi sosial mengalami perubahan.
Sebagaimana maklum, Allah ta’ala telah menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia hingga kiamat tiba. Kaum Muslimin, sepanjang sejarah mereka, mengerti bahwa sistem hidup mereka itu termaktub di dalam syariah. Jika pun muncul persoalan-persoalan baru maka mereka pun bersepakat bahwa para ulama dapat menarik kesimpulan hukum dari syariah dengan mekanisme ijtihad yang memperhatikan aspek maslahat tanpa melanggar prinsip-prinsip umum syariah.
Dalam hal ada atau tidak ada nash Al-Qur’an yang terkait dengan persoalan yang dihadapi kaum Muslimin, tetap saja syariat Allah yang mengatur kehidupan manusia.
Allah ta’ala berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya,” (QS An-Nisa’; 65).
“…karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” (QS Al-Maidah; 44).
Ketiga, sebagai ‘manual guide’ bagi hidup manusia.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Al-Qur’an lah yang secara informatif dan artikulatif mengenalkan kepada kita hakikat manusia, perannya di muka bumi, tujuan penciptaannya, awal mula perjalanan dan akhir destinasi manusia. Singkatnya, ia adalah manual guide (buku petunjuk praktis) perjalanan hidup manusia dari awal hingga akhir.
Secara naluriah, manusia yang sadar akan eksistensi dirinya selalu bertanya siapa aku? Dari mana aku berasal? Ke mana aku akan pergi setelah kematian? Untuk apa aku hidup? Bagaimana dan dengan cara apa aku menjalani hidup ini?
Allah Sang Khalik, pencipta jiwa manusia, menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu dengan rinci sekaligus memuaskan kalbu dan nalar manusia. Sungguh, belum ada dan tak akan pernah ada buku filsafat karangan manusia yang bisa memberikan kepastian dan kejelasan seputar pertanyaan eksistensial manusia itu, selain dari pada Al-Qur’an.
Perhatikanlah ayat-ayat berikut:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah,” (QS. Shaad; 71).
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya,” (QS. Shaad; 72).
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” (QS Al-Baqarah; 30).
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS Huud; 61).
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku,” (QS Al-Dzariyat; 56).
Katakanlah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS Al-An’am; 162).
“Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah),” (QS Al-An’am; 163).
Kami berfirman, “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah; 38).
Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, ,aka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS Al-A’raf; 158).
Manusia juga akan diperhitungkan amalnya di hari pembalasan sesuai dengan tingkat kepatuhan dan pelanggaran terhadap syariah yang mengatur kegiatan manusia di muka bumi. Allah ta’ala berfirman:
“… maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” (QS Al-Baqarah; 38).
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya,” (QS Al-Baqarah; 39).
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” (QS. An-Nisa’; 56).
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman,” (QS An-Nisa’; 57).
Keempat, sebagai media eksplorasi rahasia alam semesta
Terlalu banyak ayat-ayat ‘kauniyah’ baik yang terkait dengan kosmos alam maupun kosmis manusia termaktub dalam Al-Qur’an. Tak kurang dari 1.000 ayat kosmos dan kosmis tertuang di dalamnya secara eksplisit. Tentu saja jumlah tersebut lebih banyak dari ayat-ayat tasyri’/hukum (tak lebih dari 500 ayat), yang membuktikan perhatian dan dorongan Al-Qur’an yang begitu besar kepada umat muslim agar mereka menguasai alam semesta sebagai media untuk tafakkur dan taskhir agar manusia semakin patuh dan taat kepada hukum Allah.
Dari sekian banyak peradaban yang pernah leading di muka bumi, peradaban Islam yang dilandasi Al-Qur’an telah mengenalkan metode observasi sains dan nalar ilmiah dalam metodologi riset pertama kali dalam sejarah manusia. Untuk pertama kalinya di dunia, iman dan sains dapat hidup serasi dan harmoni karena endorsmen Al-Qur’an sejak pertama kali ia ditanzilkan Allah Swt.
Allah ta’ala berfirman:
“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,” (QS An-Nur; 41).
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk),” (QS An-Nur; 42).
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan,” (QS An-Nur; 43).
” Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan,” (QS An-Nur; 44).
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS An-Nur; 45).
“Sesungguhnya kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan, dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” (QS An-Nur; 46).
Kelima, sebagai sumber inspirasi hukum sosial bagi kaum beriman
Diantara hukum sosial yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an adalah sunnah ‘istikhlaf’ (berkuasa) dan ‘tamkin’ (pengokohan kedudukan) bagi orang-orang mukmin yang istikamah, dengan ciri khas keamanan dan ketentraman jiwa serta meratanya keberkahan di seluruh penjuru bumi. Hal itu dapat dijumpai dalam QS An-Nur; 55, Al-Anbiya’; 105, dan Al-A’raf; 96.
Dengan minus ketentraman jiwa dan keberkahan lahir-batin, kaum kafir juga bisa mendapatkan giliran ‘tamkin’ yang semu di dunia dan berujung kebinasaan di akhirat kelak. Al-Qur’an menyatakan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir,” (QS Al-Isra’:18).
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS Al-Isra’: 19).
“Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu, dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi,” (QS Al-Isra’: 20).
Dalam ayat lain ditegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan,” (QS Huud; 15).
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Huud; 16).
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa,” (QS Al-An’am; 44).
Demikianlah, Al-Qur’an memberikan inspirasi kepada kaum mukmin agar istiqamah dalam agama sambil bertawakal kepada-Nya, dan tidak silau ataupun berkecil hati melihat fenomena kekuasan kaum kafir yang menggurita saat ini namun hakikatnya rapuh. Allah mengumpamakan mereka laksana:
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir,” (QS Yunus; 24).
Konsekuensi Beriman kepada Al-Qur’an
Saudaraku yang dicintai Allah ta’ala, pengakuan bahwa kita beriman dan bermakmum kepada Al-Qur’an tentunya memiliki konsekuensi tertentu, diantaranya:
Pertama, hidup bersama Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah dengan membaca dan menghafalnya
Dibandingkan bacaan dan aktifitas lainnya, Al-Qur’an bagi seorang mukmin haruslah menjadi sahabat setia yang menemaninya baik dalam keadaan sendiri maupun di tengah keramaian. Seorang mukmin dalam hatinya merasakan bahwa Allah Swt. secara pribadi sedang berbicara dengannya lewat Al-Qur’an.
Allah ta’ala selalu mengawasi dan memantau kondisi manusia ciptaannya. Manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia sehingga tak pernah dibiarkannya sia-sia dalam ketidakpastian. Dengan perantara Rasul, utusan Allah yang dibekali dengan kitab suci, umat manusia dapat menerima petunjuk Allah atas setiap persoalan yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran),” (QS An-Nisa’; 174).
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya,” (QS An-Nisa’; 175).
Hidup bersama Al-Qur’an akan menajamkan intuisi, membuka jendela hati, dan memberikan kesegaran rohani. Mengapa? Karena pada saat kita akrab dengan Al-Qur’an itu berarti kita sedang hidup bersanding dengan cahaya rabbani yang terhimpun dalam kitab-Nya dan sanggup menerangi setiap persoalan yang dihadapi jika kita mentadaburinya dengan baik.
Kedua, mendidik jiwa kita dengan tuntunan Al-Qur’an.
Karena Al-Qur’an adalah manual pendidikan Islami yang integral dan sanggup mengentaskan umat ini menjadi yang terbaik. Minimal, hasil pendidikan Al-Qur’an terhadap jiwa-jiwa manusia itu telah terbukti dan teraplikasikan dengan baik pada era generasi muslim terbaik (salafus saleh).
Di dalam Al-Qur’an, Allah ta’ala telah menjanjikan kaum Muslimin kemenangan yang gemilang justru pada saat mereka masih minoritas, lemah, dan belum merengkuh kekuasaan dunia. Ayat-ayat yang turun pada periode Makkiyah dan Madaniyah merekam janji-janji Allah yang telah terealisasi itu, diantaranya QS An-Nur; 53, Ar-Rum; 46, An-Nisa’; 140, Al-Munafiqun; 8, dan Ali Imran; 39.
Pemenuhan janji kemenangan yang gemilang itu, menurut Syekh Rasyid Ridha, tak lain disebabkan kaum Muslimin saat itu konsisten menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk (atsaran lil ihtida’ bil-Qur’an).
Lebih jauh, Rasyid Ridha meyakini bahwa generasi muslim terbaik yang pada saat itu mampu menaklukkan dua adidaya dunia, Persia dan Romawi, dan memerintah wilayah kekuasaan yang terbentang luas dengan sukses, hanya karena mereka berpanduan kepada Al-Qur’an sebagai sumber nilai dan hukum bagi mereka yang mengatur semua aspek keduniaan (Tafsir Al-Manar, Vol.1/11).
Bukan suatu kebetulan atau pemikiran yang tidak matang jika gerakan pembaruan tafsir, bagi tokoh sekaliber Syekh Muhammad ‘Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di awal abad ke-20, tak lain adalah merevitalisasi peran tafsir sebagai aktifitas memahami Al-Qur’an sebagai diktum agama yang menunjuki manusia agar dapat meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (fahmul kitab min haytsu huwa dinun yursyidu an-nas ila ma fihi sa’adatuhum fi hayatihim ad-dunya wa hayatihim al-akhirah)(Tafsir Al-Manar, Vol.1/21).
Keunggulan Al-Qur’an dalam aspek pendidikan jiwa manusia dapat dilihat pada penekanan segi akidah yang kokoh dan terejawantahkan dalam amaliah yang nyata dan membentuk hati dan perilaku yang bersih. Akidah dalam Al-Qur’an bukanlah sebatas formalitas dan lips service pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah! Namun Al-Qur’an selalu mengaitkannya dengan amaliah nyata:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (QS Ar-Ro’du; 19).
“(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,” (QS Ar-Ro’du; 20).
” Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk,” QS Ar-Ro’du; 21).
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),” (QS Ar-Ro’du; 22).
Dari rangkaian ayat di atas, kita memetik hikmah bahwa komitmen terhadap janji, menjaga tali silaturahim, sikap sabar menerima cobaan hidup, salat dan rajin berinfak adalah sebagian aplikasi turunan dari akidah yang kokoh menghujam dalam qalbu.
Ketiga, mentransformasi kehidupan kita selaku umat kepada orientasi islami dalam semua aspek kehidupan.
Perilaku individu setiap kita harus sesuai dengan inspirasi Al-Qur’an. Hidup jujur, berintegritas, bersih badan, suci jiwa dan jauh dari dosa dan kezaliman seperti yang Allah ta’ala inginkan:
Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS Al-An’am; 151).
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Lami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,” (QS Al-An’am; 152).
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa,” (QS Al-An’am; 153).
Demikian isi rangkaian ayat surah Al-An’am yang erat kaitannya dengan pribadi muslim yang memiliki karakter yang lurus.
Namun yang patut kita camkan, bahwa Al-Qur’an juga harus menjadi pedoman kehidupan sosial kita selaku umat baik di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, hukum keluarga, hubungan lawan jenis, bahkan pemikiran-pemikiran kita pun harus selaras dengan konsep-konsep dan arahan islami, karena dalam hal mentaati perintah Allah dan berbagai aturan Islam dalam lingkup kemasyarakatan, sejatinya Islam tak membeda-bedakan antara kehidupan individu dan kehidupan kolektif. Dengan demikian kita benar-benar menjadi umat Qur’ani; yang berwawasan dan bertindak sesuai inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an. Wallahu a’lam.