Kitab suci umat Islam yang merupakan wahyu terakhir diturunkan kepada Rasul Allah terakhir disebut dengan istilah Al-Qur’an. Kata ini memiliki dua arti, yaitu bacaan (qira’atan wa qur’anan) dan mengumpulkan atau kompilasi (zam’an). Ia dinamai demikian karena Al-Qur’an menghimpun/mengkompilasi intisari semua kitab atau wahyu Allah yang sebelumnya telah diwahyukan kepada para nabi. Lebih dari itu, ia juga menghimpun seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Hal itu disebabkan karena ia adalah firman Allah yang ilmunya mencakup segala hal yang berkaitan dengan manusia, dan bahkan di luar jangakauan manusia, karena ia adalah Sang Pencipta alam semesta.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa ia awal mula turun pada bulan Ramadhan, dan berfungsi menjadi petunjuk bagi manusia (Al-Baqarah: 185). Ia adalah bacaan yang agung (Qaf: 1), mulia (Shad: 1), berbahasa arab yang jelas dan terang (Fusshilat: 3), mudah diingat dan dipelajari oleh siapa pun yang hatinya bersih (Al-Qamar: 17), serta banyak berisi perumpamaan hidayah bagi manusia namun direspon negatif/kekufuran oleh banyak orang (Al-Isra’: 89).
Allah ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang kafir tidak suka mendengar Al-Qur’an dikarenakan ada penghalang dan tabir yang tebal karena mereka lari dari hidayahnya. Allah berfirman, “Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup,” (Al-Isra’: 45).
“Dan kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang Karena bencinya,” (Al-Isra’: 46).
Sehingga untuk membacanya dengan baik, kita dianjurkan untuk melakukan persiapan khusus dengan hati yang bersih dan memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan syetan (An-Nahl: 98). Ketika tidak membacanya, maka kita harus mendengarkannya dengan melibatkan seluruh perasaan, indera dan alat pemahaman sehingga terjadi interaksi, tadabbur, dan pengaruh yang nyata dalam keseharian, “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat,” (Al-A’raf : 204).
Pengaruh Al-Qur’an sungguh luar biasa baik kepada gunung, bumi dan orang yang sudah meninggal. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Qur’an Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir,” (Al-Hasyr : 21).
“Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al-Qur’an itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka Tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji,” (Ar-Ra’d: 31).
Jika sedemikian hebatnya pengaruh Al-Qur’an bagi benda mati yang tak bernyawa dan tak berakal pikiran, maka Al-Qur’an harus lebih mampu mempengaruhi kita segenap manusia yang berakal pikiran apalagi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Sejak semula Al-Qur’an telah dan akan terus memberi pengaruh yang kuat, namun tentu saja ada yang salah dan keliru dengan kita selaku obyek dan media bacaan kita sehingga Al-Qur’an belum memberi pengaruh apa-apa kepada kaum Muslimin.
Allah ta’ala telah perintahkan kita untuk tadabbur Al-Qur’an (Muhammad: 24), sehingga sampai pada tahap seorang mukmin bertambah iman dan percaya yang mutlak terhadap firman Allah dan ketetapan-Nya (An-Nisa’: 82), dan jika kita lakukan proses itu dengan baik dan benar maka Al-Qur’an akan memberikan pengaruh positif bagi setiap mukmin berupa petunjuk, obat penawar dan rahmat bagi mereka.
“Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” (Al-Isra’:9).
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’aan suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian,” (Al-Isra’: 82).
Sehingga siapapun yang menerapkan konsep Al-Qur’an baik inspirasi maupun aspirasinya, maka ia akan menjadi wise sebagaimana sifat Al-Qur’an yang banyak mengandung hikmah dan wisdom (Yaasin: 1-2)
Kita dilarang untuk memilah-milah ajaran Al-Qur’an, dalam pengertian bahwa seluruhnya harus kita ambil dan jadikan pedoman hidup. Sikap yang komprehensif dan tidak parsial merupakan karakter Al-Qur’an sendiri, sehingga barang siapa yang membagi-bagi dan memotong-motongnya dalam fragmentasi kecil maka ia akan mendapat azab dari Allah Swt. Dan Katakanlah: “Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan,” (Al-Hijr: 89), “sebagaimana (Kami Telah memberi peringatan), kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah),” (Al-Hijr:90), “(yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91).
Selain itu umat dilarang untuk menyia-nyiakan petunjuk Al-Qur’an (Al-Furqon: 30), dan salah satu cara yang digunakan musuh-musuh Islam adalah dengan berbagai kampanye dan seruan untuk tidak mendengarkan dan mematuhi ajaran Al-Qur’an, Allah berfirman, Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka,”(Fusshilat; 26), dari petunjuk ayat ini kita dapat merasakan bahwa kaum kuffar mengetahui rahasia dan strategi untuk mengalahkan umat Islam dan menghapus cahaya kebenaran Al-Islam dari peta dunia, yaitu dengan menjauhkan umat muslim dari petunjuk Al-Qur’an, maka kita pun dibuat mereka hiruk pikuk dan sibuk dengan beragam teori dan konsep asing dalam menjalankan hidup seraya tercerabut dari akar ideologi Al-Islam yang diridai Allah Swt, dimana Al-Qur’an merupakan sentral dan jantung bagi peta jalan menuju kebangkitan yang sejati.
Interaksi Generasi Terbaik dengan Al-Qur’an
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa Al-Qur’an akan tetap dan senantiasa dapat memberikan pengaruh dan petunjuk terbaik bagi kita. Namun, mengapa umat ini secara keseluruhan belum bisa bangkit dan masih terpuruk berada di halaman belakang (back yard) peradaban dunia saat ini? Al-Qur’an tetap lah Al-Qur’an yang masih asli, otentik dan final seperti yang pernah dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan didengarkan para sahabat Ridhwanullahi ‘alayhim, tak ada yang berkurang sedikitpun dari hakikatnya yang asli.
Yang perlu kita salahkan adalah sikap dan mental kita yang salah dalam mendudukkan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Dan yang kedua, adalah jenis interaksi dan media tilawah kita yang tidak pas sesuai metode tarbiyah ala sahabat di bawah bimbingan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Marilah kita bercermin kepada generasi terbaik umat (Salafus Saleh) dalam mengubah dan mereposisi dua hal pokok problem besar umat Islam dewasa ini. Berikut saya nukilkan beberapa petikan pernyataan mereka di bawah ini;
Al-Hasan ibn ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Sungguh, orang-orang sebelum kalian telah memandang Al-Qur’an laksana surat-surat (perintah) dari Rabb mereka, maka senantiasa mereka selami maknanya pada malam hari dan mereka menerapkannya di siang harinya.”
Mujahid Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Maksud ayat ‘Mereka selalu membacanya dengan bacaan yang benar (Al-Baqarah: 121) yaitu dengan mengamalkannya dengan sebenarnya.”
Imam Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, “Sungguh, Al-Qur’an ini telah dibaca oleh budak-budak sahaya dan anak kecil yang tak mengerti apapun penafsirannya. Ketahuilah bahwa mentadabburi ayatnya tak lain adalah dengan mengikuti segala petunjuknya, tadabbur tak hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya atau memelihara dari tindakan menyia-nyiakan batasannya. Sehingga ada seorang berkata sungguh aku telah membaca seluruh Qur’an dan tak ada satu huruf pun yang luput, sungguh demi Allah orang itu telah menggugurkan seluruh Qur’an karena Qur’an tak berbekas dan tak terlihat pengaruhnya pada akhlak dan amalnya!”
Abdullah ibn Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Sungguh, dahulu kami kesulitan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an namun amat mudah bagi kami mengamalkannya. Dan sekarang, generasi setelah kami begitu mudahnya menghafal Al-Qur’an namun amat sulit bagi mereka mengamalkannya.”
Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Kami telah mengalami masa yang panjang dalam perjuangan Islam, dan seorang dari kami telah ditanamkan keimanannya sebelum diajarkan Al-Qur’an, sehingga tatkala satu surah turun kepada Nabi Muhammad Saw maka ia langsung mempelajari dan mengamalkan halal-haram, perintah-larangan dan apa saja batasan agama yang harus dijaga. Lalu aku melihat banyak orang saat ini yang diajarkan Al-Qur’an sebelum ditanamkan keimanan dalam dirinya, sehingga ia mampu membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir dan tak mengerti apa-apa soal perintah dan larangan dan batasan apa saja yang mesti dipelihara.”
Al-Fudlayl ibn ‘Iyadh berkata, “Seorang pemikul Al-Qur’an adalah sejatinya pemikul bendera Islam, ia tak boleh bermain-main, lalai dan menyia-nyiakan diri sebagai bentuk pemuliaan atas hak-hak Al-Qur’an. Sehingga jika para penghafal Al-Qur’an dapat memenuhi kriteria di atas, maka sepantasnya merekalah yang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan umat ini agar berdiri sesuai ajaran Kitabullah. Tempat yang pantas bagi mereka adalah penasehat (ahli syura) dan tim pakar bagi para penguasa dan pemimpin muslim.”
Abdullah ibn ‘Abbas berkata, ” Dahulu para qari dan penghafal Al-Qur’an adalah orang-orang yang diprioritaskan hadir dalam setiap persidangan dan permusyawaratan Khalifah ‘Umar ibn Al-Khattab, orang-orang tua dan para pemudanya.”
Kondisi tersebut amat kontras jika dibandingkan dengan kondisi para huffazh dan hamalatul Qur’an dewasa ini yang banyak di antara mereka hanya cukup menjadi penonton, menunggu giliran khataman Qur’an dengan honor tertentu ataupun berburu piala dan hadiah bergengsi dari berbagai perlombaan Al-Qur’an di level nasional dan internasional. Para huffazh di era sahabat adalah kaum elit, para pengarah kebijakan, dan kompas kehidupan bagi umat serta tempat bagi para penguasa untuk mencari solusi masalah kehidupan rakyat dengan bimbingan Al-Qur’an. (kw)