Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak ustadz, saya mau bertanya. Saya punya teman anak kiai dia juga sudah lulus dari pesantren dan sekarang sedang kuliah di IAIN. Waktu malam acara Agustusan saya ngobrol dengan dia tentang puasa tiga hari tiga malam tidak haram. Argumen dia kalau kita menderita dengan puasa tersebut doanya cepat terkabul. Terus tentang wapak/isim/rajah katanya tidak syirik (haram) asal yang buatnya dilihat dari keturunan/silsilahnya contohnya habib gitu. Juga tentang pengisian ilmu tenaga dalam seperti gerak sendiri, auman macan, silat katanya itu semua sudah dibeli dengan cara puasa jadi itu tidak syirik (haram) katanya.
Bapaknya juga sering kedatangan banyak tamu yang bermobil mewah. Setahu saya banyak yang minta biar naik pangkat, usahanya lancar, dan lain-lain. Juga dia suka ngasih isim, air putih dan wiridan (amalan) dari ayat suci yang harus diwirid sewaktu puasa. Menurut pak ustadz apakah kiai itu benar/kiai dukun.
Mohon penjelasan dari pak ustadz biar akidah saya jadi bertambah dan kuat.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatuhhali wabarakatuh,
a. Haramnya Puasa Tiga Hari Tiga Malam
Rasulullah SAW telah melarang umatnya berpuasa wishal, yaitu puasa yang bersambung tanpa berbuka pada waktunya harus berbuka. Seharusnya, begitu masuk waktu maghrib, wajib hukumnya untuk berbuka dan membatalkan puasa.
Kalau sampai berpuasa tiga hari berturut-turut, maka hukumnya haram, karena melanggar aturan syariat yang telah ditetapkan oleh beliau SAW.
Dalilnya adalah hadits berikut ini:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ عَنِ اَلْوِصَالِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ: فَإِنَّكَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ تُوَاصِلُ? قَالَ, " وَأَيُّكُمْ مِثْلِي? إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي."مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW telah melarang puasa wishal (bersambung). Maka seseorang dari umat Islam bertanya, "Namun Anda sendiri puasa wishal, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kalian tidak sama dengan saya, sebab saya diberi makan dn minum oleh tuhan saya." (HR Bukhari Muslim)
Masalah haramnya puasa wishal ini tidak ditetapkan oleh anak kiyai atau oleh lulusan IAIN, tetapi ditetapkan langsung oleh baginda nabi sendiri. Karena itu jangan silau dengan siapa yang mengatakannya, tetapi kembalikan semua kepada penjelasan dan keterangan dari nabi SAW.
b. Tentang wafak, isim, rajah dan sejenisnya
Letak keharamannya pada ketergantugan kita kepada selain Allah SWT, tetapi malah kepada benda-benda itu.
Wafak, isim, rajah dan benda-benda sejenisnya, sekilas memang menyiratkan hal-hal yang berbau agama. Kadang bertuliskan huruf-huruf arab, atau bahkan malah potongan ayat-ayat Al-Quran.
Lepas dari masalah perbedaan pendapat tentang hukum menuliskannya, tetapi manakala benda-benda itu dipercaya akan membawa keberuntungan, keajaiban, energi tertentu, kekuatan batin, atau hal-hal ghaib lainnya, ketahuilah bahwa pada saat itu pelakunya telah menduakan Allah SWT.
Karena telah mempercayai dan menggantungkan diri kepada selain Allah SWT.
Di sisi lain, terkadang kepercayaan itu memang terbukti. Orang yang membawa benda-benda itu seringkali mendapatkan apa yang mereka yakini. Seperti tidak mempan dibacok, bisa makan beling, kebal, punya energi berbeda dan seterusnya. Lantas dari mana semua keajaiban itu?
Meski Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan berkuasa untuk memberikan kelebihan pada hamba-Nya, tetapi pemberian-Nya secara umum terbagi dua.
Ada pemberian yang diiringi dengan keridhaan, tapi ada juga yang justru diiringi dengan murka. Yang diiringi dengan keridhaan misalna mukjizat para nabi atau karamah para wali. Sedangkan yang diiringi dengan murka adalah sihir, ramal, teluh, jampi-jampi, serta hal-hal yang sejenisnya.
Yang membedakan antara keduanya bukan pada bentuknya yang bertuliskan huruf arab, atau ada potongan ayat tertentu, tetapi yang membedakan adalah orangnya.
Kalau seorang nabi atau wali Allah, sudah jelas mereka adalah orang yang beriman secara murni kepada Allah, taat menjalankan hukum dan aturan dari-Nya, setia kepada syariat-Nya. Ciri lainnya adalah bahwa para nabi dan wali itu sama sekali tidak punya kuasa atas semua keajaiban itu, sebab datangnya tiba-tiba begitu saja tanpa diminta. Sehingga tidak pernah seorang nabi berpraktek secara khusus menawarkan kemukjizatan, demikian pula dengan para wali-Nya.
Sedangkan yang berupa sihir dengan segala variannya, diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang kufur dan ingkar. Misalnya iblis, syetan dan jin. Atau bahkan manusia yang telah kufur karena mempelajari ilmu sihir. Kekuatan itu sebenarnya dari Allah SWT juga, tetapi didapat dengan jalan sesat dan mungkar.
Ciri utamanya, para pelakunya seolah memang punya kekuasaan untuk mengkatifkan kekuatannya. Seolah dia punya remote control yang bisa dipijit kapan saja di mana saja. Sehingga mereka pun sampai berani buka praktek melayani permintaan manusia, tetapi dengan imbalan jatuh ke lembah hitam.
Karena istilah sihir sudah sangat terkenal dengan keharamannya, banyak orang yang tidak mau mendekatinya. Akhirnya syetan putar otak, bagaimana caranya agar kalangan muslim yang agamis bisa tetap terjebak dengan sihir tanpa mereka sadari. Maka dikemaslah sihir dengan kemasan-kemasan yang akrab di mata awam sebagai simbol-simbol berbau agama.
Misalnya rajah, wafak, isim dan sejenisnya. Secara penampilan, sangat mempesona lantaran berbentuk huruf arab, bahkan terkadang potongan ayat Al-Quran. Orang awam tentu akan menyangka kalau benda-benda ini berbau Islam, minimal ada potongan ayat quran. Padahal benda-benda itu tidak lain media sihir yang nyata serta bernilai syirik di sisi Allah SWT.
Sebagai muslim, kita wajib menghindarkan diri dari penggunaan benda-benda yang hanya akan membaca kita ke jurang kemusyrikan. Dan tidak ada bedanya antara keturunan habib atau bukan, karena di mata Allah, setiap manusia sama rata seperti gerigi pada sisir.
Bahkan seharusnya para keturunan habib itu malu kalau mengajarkan hal-hal yang bersifat syirik. Karena secara ‘anak keturunan’ nabi SAW sesuai pengakuan mereka, seharusnya mereka berada pada garis terdepan dalam rangka menghancurkan kepercayaan seperti itu, bukannya malah mencoreng kehormatan keluarga nabi.
Bukankah nabi SAW datang untuk menghancurkan 360 berhala yang disembah di sekeliling ka’bah? Mengapa sekarang justru ‘anak keturunannya’ malah mengajarkan kembali paham jahilayah abad ketujuh itu? Sungguh memalukan…
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatuhhali wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.