Assalamu alaikum wr. wb.
Ustadz, Ramadhan tahun ini, Insya Allah umur anak kami sudah 1 tahun 1 bulan. Selama ini, anak kami dikasih ASI dan MPASI (Makanan Pendamping ASI sejak umur 6 bulan). Masalahnya, anak kami jika sudah makan, tetap akan meminta ASI.
Yang menjadi permasalahannya, apakah diperbolehkan isteri saya tidak melakukan puasa dan cukup dengan membayar fidhyah atau bagaimana sebaiknya? Dia khawatir jika puasa, ASI-nya hanya sedikit yang keluar.
Terima kasih ustadz.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada keringanan bagi wanita yang sedang menyusui anak untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dan ini merupakan bagian dari sifat syariah Islam yang pada dasarnya sangat manusiawi, mudah dan bersifat meringankan.
Keringanan ini juga berlaku buat wanita yang sedang hamil, baik karena mengkhawatirkan bayinya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri.
Para ulama memasukkan kedua jenis keadaan ini ke dalam kelompok orang-orang yang dibolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana orang yang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan. Dengan dasar dalil umum yaitu firman Allah SWT dalam Al-Quran:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah: 184)
Namun para ulama sebagian dengan yang lainnya berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk ‘pembayarannya’. Sebagian mengatakan dengan berpuasa qadha’ di hari lain, namun sebagian lainnya mengatakan dengan membayar fidyah.
Dasar Perbedaan
Yang melatar-belakangi perbedaan itu adalah cara pengelompokannya.
Sebagian mengatakan bahwa wanita yang sedang menyusui dan sedang hamil itu lebih dekat dikategorikan sebagai orang sakit. Sehingga cara pembayarannya adalah dengan berpuasa qadha’ di hari lain. Sebagaimana ayat di atas.
Namun sebagian lagi memandang bahwa keduanya lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam kelompok orang yang tidak mampu puasa, bukan kelompok orang yang sakit. Sehingga pembayarannya dengan memberi makan orang miskin (fidyah).
Dan sebagian ulama lainnya mengembalikan kepada motivasi dari wanita itu, apakah dia mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan bayinya. Kalau dia mengkhawatirkan dirinya lalu tidak puasa, maka dia termasuk orang sakit, yang membayar dengan puasa qadha’. Sedangkan bila mengkhawatirkan bayinya, maka dia termasuk orang yang tidak mampu, yang membayar dengan fidyah saja.
Bahkan ada pendapat yang hati-hati dengan mewajibkan puasa qadha’ sekaligus dengan bayar fidyah. Dan ada juga yang membedakan antara keduanya dalam masalah pembayaran.
Kalau kita ringkas secra umum pandangan mazhab-mazhab ulama, kita dapati bahwa:
- Mazhab Al-Hafiyah termasuk yang menetapkan cara pembayaran dengan qadha’ buat mereka.
- Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mewajibkan qadha’ sekaligus fidyah, bila mengkhawatirkan bayinya.
- Al-Malikiyah mengharuskan puasa qadha’ dan bayar fidyah hanya pada wanita yang menyusui saja, tidak berlaku pada wanita hamil.
Kesimpulannya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang sangat mungkin terjadi beda pendapat. Khususnya dalam teknis pembayarannya. Sebab ayat Al-Quran di ayat masih terlalu umum dan justru tidak menyinggung masalah wanita hamil dan menyusui. Para ulama hanya mengqiyaskannya saja dengan ayat tersebut, maka terjadilah silang pendapat dalam pengkategoriannya.
Sedangkan masalah kebolehan untuk tidak berpuasa, semua ulama sepakat atas itu. Dikuatkan lagi dengan hadits berikut ini:
Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah SWT tidak mewajibkan puasa atas musafir dan mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat. Dan Allah tidak mewajibkan puasa atas wanita hamil dan menyusui." (HR. Ahmad dan Ashabussunan)
Dr. Wahbah Az-Zuhaili penulis Al-Fiqhul Islami menuliskan bahwa kebolehan wanita yang menyusui untuk tidak berpuasa tidak terbatas pada anak sendiri. Bahkan karena menyusui anak orang lain pun tetap terhitung sebagai kebolehan untuk tidak berpuasa. Seperti para wanita murdhi’ahyang bekerja untuk mendapatkan uang atas jasa menyusui bayi orang lain.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.