Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang dirahmati Allah, kita tahu ada hadits dari Abi Hurairah ra. tentang seseorang mendatangi Nabi dan melaporkan bahwa dia telah celaka, menyetubuhi isterinya saat puasa Ramadhan kemudian oleh nabi orang tersebut diberi denda kaffarat namun karena ketidakmampuannya akhirnya Nabi memberinya kurma untuk dibagikan kepada keluarganya. Pertanyaan saya adalah:
- Bagaimana bila kondisi orang tersebut terjadi di zaman sekarang? Apakah kita boleh melaporkan kondisi kita kepada seorang ulama/umaroh dan melalui dialog seperti hadits tersebut akhirnya ulama itu memberi kita kurma/roti? Ataukah dalam hal ini yang berhak memberi keringanan hanya Nabi, sehingga tidak berlaku lagi sesudah peristiwa itu.
- Bagaimana pula jika hal ini terjadi di luar puasa Ramadhan (misal puasa Senin-Kamis) apa juga ada kaffaratnya?
Mohon penjelasan.
Jazakallohu khoiron katsiron.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada banyak perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang kesimpulan hukum dari hadits ini. Bahkan di dalam kitab syarah hadits Bukhari, Fathul-bari, disebutkan bahwa ada ulama yang sampai menulis dua jilid buku yang isinya khusus membahas hadits tentang kaffarat berjima’ pada bulan Ramadhan ini. Di dalamnya terdapat hingga 1001 faedah yang terkait.
Nash hadits itu sendiri adalah:
وعَنْ أَبي هُريرة رضي الله عنْهُ قال: جاءَ رجُلٌ إلى النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم فقال: هَلَكْتُ يا رسول الله قال, "وما أَهْلَكك؟" قال: وقعْتُ على امرأَتي في رمضان فقال, "هلْ تَجدُ ما تُعتقُ رقبة؟" قال: لا، قال, "فهل تَسْتَطيعُ أَن تَصومَ شهرين مُتتابعين؟" قال: لا، قال, "فهل تَجدُ ما تُطعمُ ستِّين مسْكيناً؟" قال: لا، قال: ثمَّ جلس فأَتي النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم بعَرَقٍ فيه تمرٌ فقال, "تَصَدَّقْ بهذا" فقال: أَعلى أَفْقَر مِنّا؟ فما بيْنَ لابَتَيها أَهل بيت أَحْوج منّا فَضَحك النّبيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم حتى بدتْ أَنيابهُ، ثم قالَ, "اذهب فأَطعمهُ أَهلك" رواهُ السبّعة واللفظ لمسْلمٍ
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah.” “Apa yang membuatmu celaka?“ Aku berhubungan seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan.” Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak? “ “Aku tidak punya.” “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?””Tidak.” “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“”Tidak.” Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambillah kurma ini untuk kamu sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari: 1936, Muslim: 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671).
Memang benar bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa keringanan itu hanya secara khusus dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sehingga orang lain tidak boleh memberikan keringangan seperti itu.
Namun pendapat ini dibantah dengan beberapa hal. Misalnya, bahwa secara baku setiap dalil itu berlaku untuk umum, kecuali ada illat tertentunya yang menjadikannya khusus.
Lagi pula kalau kita mengacu kepada hadits ini dengan riwayat yang shahih, nyata benar bahwa keringanan ini bukan bersifat tawar-menawar antara nabi SAW dengan shahabat itu.
Sebab Rasulullah SAW tidak dalam posisi menawarkan mau hukuman kaffarat yang mana. Namun beliau menanyakan kemampuan real shahahatnya itu. Sebab tidak mungkin membebani seorang yang miskin dengan kewajiban membebaskan budak. Sementara boleh jadi pelakunya sediri adalah budak.
Dalam hal ini siapa pun selain Rasulullah SAW bisa saja menjalankan pilihan-pilihan ini. Tidak dengan memulai dari yang paling ringan tentu saja, tetapi dari yang palin berat. Kalau faktanya yang bersangkutan memang tidak mampu, tentu tidak bisa dipaksakan.
Demikian juga dengan kaffarat berpuasa 2 bulan berturut-turut yang ternyata tidak mampu dilakukan, ternyata bukan pilihan melainkan kenyataan. Kenyataannya shahabat itu memang tidak mampu mengerjakannya, bukan karena malas atau ogah-ogahan.
Termasuk ketika tidak mampu juga untuk memberi makan 60 fakir miskin, itu bukan pilihan tetapi kenyataannya memang demikian. Bahkan tidak ada orang yang lebih miskin di Madinah dari shahabat tersebut.
Pada prinsipnya syariat Islam tidak akan membebani seseorang bila orang itu berada di luar kemampuan. Orang yang tidak punya harta, bagaimana mungkin diwajibkan bayar uang seharga budak? Bagaimana mungkin diminta untuk puasa 2 bulan berturut-turut, padahal dia memang nyata tidak mampu? Bagaimana mungkin diwajibkan memberi makan 60 fakir miskin, sementara dia adalah orang paling miskin di Madinah.
Dan di hari ini, bila memang terdapat kasus seperti di atas, tidak perlu sosok Rasulullah SAW untuk memutuskan, cukup para pewaris nabi yaitu para ulama yang mengajarkan. Dan aturannya sudah jelas sekali.
Kalau seseorang punya keluasan harta, dia tidak boleh memilih memberi makan 60 fakir miskin, tapi dia harus membebaskan budak. Bahkan kalau dia sangat kaya dan untuknya membebaskan budak hanya perkara sepele, maka dia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.