Assalamualikum. Wr. Wb.
Ustad yang dirahmati Allah. Ada yang ingin saya tanyakan. Ramadhan tahun ini saya mempunyai jam kerja yang benar-benar tidak nyaman dengan aktivitas ramadhan saya terutama saat 10 hari terakhir.
Disaat teman-teman saya khusuk itikaf di Masjid… Saya malah mendapat jadwal kerja dari sore sampai pagi.. dan saya merasa sangat merugi… padahal sangat ingin memaksimalkan 10 hari terakhir dengan Itikaf.
Apakah ada saran yang bisa Ustad berikan kepada saya? Dan setahu saya itikaf itu adalah di Masjid bukan di tempat yang lain.
Mohn pencerahan dari Ustad. jazakamulllah Khoiran katsir.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Satu hal yang perlu anda ketahui bahwa di balik keutamaan dan anjuran untuk beri’tikaf di masjid pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan, bahwa para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu hukum bukan wajib. Hukumnya sunnah di mana Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkannya. Beliau memang tidak pernah meninggalkan i’tikaf, namun tetap saja hukumnya tidak sampai wajib.
Sehingga seorang muslim yang tidak sempat untuk melakukan i’tikaf di masjid para 10 malam terakhir bulan Ramadhan itu tidak dikatakan sebagai orang yang berdosa atau melakukan kemaksiatan.
Di sisi lain, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan isteri merupakan kewajiban, bukan sekedar sunnah. Sebab seorang suami telah diperintahkan untuk memberi nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggungannya.
Maka seandainya ada orang yang bisa mengatur waktunya agar tetap bisa bekerja mencari nafkah namun tetap bisa melakukan i’tikaf di masjid, tentu sangat beruntung.
Namun buat mereka yang tidak mendapatkan kesempatan untuk beri’tikaf karena alasan jam pekerjaan, tentu bukan berarti semua pintu-pintu kebaikan telah tertutup untuknya. Masih ada ribuan pintu kebaikan lainnya yang tetap terbuka dan bisa dimasuki untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT.
Sehingga anda tidak perlu berkecil hati bila pada bulan Ramadhan tahun ini belum dapat menikmati indahnya malam-malam i’tikaf, semoga di tahun-tahun mendatang Allah SWT memberikan kesempatan itu.
Ada seorang yang saya bercerita bahwa saking cintanya untuk beri’tikaf, dia sengaja tidak mengambil cuti tahunan dari kantor, kecuali setiap tanggal 21 hingga 30 Ramadhan. Tujuannya agar bisa ikut beri’tikaf di masjid.
Tentu kita maklum bila tidak semua lapisan umat Islam mendapat kesempatan seperti ini. Pintu-pintu kebaikan masih tetap terbuka lebar, meski tidak harus lewat pintu ‘itikaf. Misalnya jihad fi sabilillah yang pernah dilakukan oleh Abdullah bin Mubarok.
Bahkan jihad di bulan Ramadhan jauh lebih berfaedah dan lebih mendatangkan pahala yang besar. Sehingga beliau sampai membuat gubahan syi’ir yang amat terkenal:
Wahai orang-orang yang beribadah di dua masjid Al-Haram (Makkah Madinah)
Seandainya kalian melihat kami (berjihad)
Pastilah kalian tahu bahwa dalam beribadah, kalian masih main-main.
Rupanya dalam pandangan beliau, bila dibandingkan antara jihad di front terdepat untuk menegakkan agama Allah dengan ibadah di dalam masjid Al-Haram, masih jauh lebih utama. Dan ibadah di dalam masjidi itu hanya seperti orang main-main. Karena tidak sampai beresiko mengorbankan nyawa, harta dan lainnya.
Kalau dipikir-pikir, apa yang beliau sampaikan ada benarnya juga. Sebab beri’tikaf di masjid itu memang nikmat, aman, damai, tidak ada resiko perjuangan, tidak ada ancaman nyawa melayang, atau luka-luka parah akibat tusukan pedang, sebagaimana di medan jihad.
Dan medan jihad yang sesungguhnya seperti di Palestina, Iraq dan negeri muslim terjajah lainnya, akan membuat seolah ibadah i’tikaf di masjid hanya sekedar main-main.
Namun hal ini tidak berarti kita mengecilkan arti dan nilai beri’tikaf di 10 malam terakhir. Yang menjadi tujuan adalah bahwa seandainya ada orang yang karena satu dan lain hal, belum mendapat kesempatan untuk beri’tikad di masjid, maka insya Allah masih begitu banyak pintu kebaikan yang lain dan terbuka kesempatan untuk meraih surga lewat pintu-pintu itu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Ahmad Sarwat, Lc