Assalamualikum wr. wb.
Ustadz, langsung saja. Apa hukumnya seorang suami yang bercumbu rayu dengan isteri di siang hari bulan Ramadhan? Mohon penjelasan ustadz. Jazakallah.
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kalau dilihat dari sudut pandang baku tentang hal-hal yang membatalkan puasa, sebenarnya bercumbu dengan isteri tidak membatalkan puasa, selama tidak sampai inzal (keluar mani). Begitu juga bila seorang suami mencium isterinya atau memeluknya tidak membatalkan puasa.
Yang membatalkan puasa adalah percumbuan yang sampai inzal atau sampai betul-betul terjadi hubungan seksual suami isteri. Bahkan selain membayar qadha` juga diwajibkan membayar kaffarah. Karena hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan termasuk perbuatan yang merusak kesucian Ramadhan itu.
Dari Umar bin Al-Khattab ra. berkata, "Aku bernafsu maka aku mencium (isteriku) sedangkan aku dalam keadaan puasa, maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, hari ini telah melakukan hal yang besar karena aku telah mencium isteriku dalam keadaan puasa.." Rasulullah SAW menjawab, "Bagaimana pendapatmu bila kamu berkumur-kumur sedangkan kamu dalam keadaan puasa?" Aku menjawab, "Ya tidak mengapa." Rasulullah SAW menjawab lagi, "Ya begitulah hukumnya." (HR Abu Daud- shahih)
Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali dan hal itu boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu`. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
Bersetubuh tapi tidak sampai jima’
Percumbuan dengan isteri namun tidak sampai terjadi inzal atau hubungan kelamin memang tidak membatalkan puasa. Namun kita juga mendapatkan riwayat hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melarang seseorang yang sedang puasa untuk mencumbui isterinya. Dan pada waktu lainnya, beliau juga pernah membolehkan yang lain untuk melakukannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Ternyata ketika melarang seseorang untuk mencumbui isterinya, pertimbangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah karena orang itu tidak mampu menahan dirinya dari dorongan syahwat, sehingga ditakutkan bahwa percumbuannya itu akan membawanya kepada hal yang lebih jauh seperti hubungan kelamin.
Dan ketika beliau membolehkan orang lain untuk bercumbui isterinya, maka pertimbangannya adalah karena orang tersebut mampu menahan dorongan syahwat dan bisa menguasai diri saat bercumbu.
Lebih jelasnya, mari kita baca hadits tersebut:
Dari Abi Hurairah ra. bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang mencumbui wanita bagi orang yang puasa. Rasulullah SAW llau memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang itu. Kemudian datang lagi yang lainnya tapi nabi melarangnya. Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua sedangkan yang dilarang adalah yang masih muda. (HR Abu Daud – shahih)
Bahkan ada atsar yang lebih jelas dari hadits di atas:
Dari Said bin Jubair bahwa seorang bertanya kepada Ibnu Abbas, "Aku baru saja menikah dengan anak pamanku yang sangat cantik dan kami berbulan madu di bulan Ramadhan. Bolehkah aku menciumnya?" Ibnu Abbas menjawab, "Bisakah kau kuasai dirimu?" Dia menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Ciumlah isterimu." Dia bertanya lagi, "Bolehkah aku mencumbuinya?" Ibnu Abbas menjawab, "Bisakah kau kuasai dirimu?" Dia menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Cumbuilah isterimu." Dia bertanya lagi, "Bolehkah aku memegang kemaluannya?" Ibnu Abbas menjawab, "Bisakah kau kuasai dirimu?" Dia menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Peganglah."
Ibnu Hazm berkata bahwa riwayat ini shahih dari Ibnu Abbas dengan syarat dari Bukhari.
Namun bila dalam percumbuan itu sampai terjadi keluarnya mani (inzal) maka para ulama mengatakan bahwa hal itu membatalkan puasa. Karena salah satu hal yang membatalkan puasa adalah keluarnya mani bila dilakukan dengan sengaja, baik dengan cara istimna’ (onani) ataupun dengan percumbuan dengan isteri. Itulah yang disebutkan oleh ustaz Assayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah jilid 1 halaman 466.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa bila percumbuan itu sampai keluar mani (inzal) maka tidaklah membatalkan puasa. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syeikh Al-Albani dalam kitab beliau Tamamul Minnah. Al-Imam Asy-Syaukani termasuk yang juga condong kepada pendapat tersebut. Begitu juga dengan Ibnu Hazm, tokoh dari kalangan mazhab Az-Zhahiri.
Sedangkan keluarnya mazi menurut umumnya pendapat ulama, bukanlah hal yang membatalkan puasa.
Namun secara umum, kita diperintahkan pada saat-saat itu untuk menahan segala nafsu dan dorongan syahwat dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hal-hal yang keji dan mungkar. Termasuk hal-hal yang bisa membawa seseorang terjerumus dan membatalkan puasanya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.