Lalu hari itu, bulan Maret hari ke dua puluh, delapan puluh delapan tahun yang lalu, mereka berenam bergegas menemui pemuda itu di kediamannya. Sebuah kediaman yang sederhana yang di bangun pemuda itu dari aktivitasnya mengabdikan dirinya menjadi guru di sebuah madrasah. Mereka dengan penuh getar yang menjalar menemui pemuda yang mereka kagumi itu
Di hari itu pula, setelah perbincangan yang panjang tentang gelora, haru, dan mimpi mereka pada Islam dan kebangkitannya, mereka membai’at pemuda itu untuk menjadi pemimpin mereka. Meminta pemuda itu untuk membimbing kehidupan mereka agar lebih jauh berjalan menapaki jalan dakwah dan Islam. Meminta pemuda itu menjadi mursyid bagi kafilah jiwa-jiwa perindu syurga
Perbincangan mereka bertujuh; di rumah sederhana itu, telah menjadi saksi tentang bagaimana rencana-rencana besar mereka dimulai. Keenam orang yang datang ke rumah pemuda itu, dengan segera, menunjukkan kesungguhannya; memberikan sebagian harta yang dimiliki, untuk membangun semua cita-cita yang menjadi komitmen seluruh jiwa mereka
Lalu mereka bermusyawarah tentang langkah apa saja yang harus dilakukan pertama kali. Mereka mengerucutkan dalam beberapa keputusan; nama perkumpulan harus dibuat, dan markas untuk tempat berkumpul harus segera ditentukan
Hasan bin Abdurrahman Al-Banna, pemuda dua puluh dua tahun yang santun lagi mempesona itu kemudian menyampaikan kata-kata kepada keenamnya; “Kita adalah saudara (ikhwah) dalam berkhidmat untuk Islam. Maka dengan demikian, perkumpulan kita selayaknya disebut Al-Ikhwanul Muslimin”. Mereka semua bersyukur. Hari-hari kedepannya mungkin tak akan berjalan mudah. Tapi mereka telah memulainya. Dan mereka yakin, Allah akan menolong perjalanannya