Perawakan tubuhnya sederhana, tak besar juga tak terlalu kecil, sedang-sedang saja. Penampilannya pun sederhana pula, tak menonjol ataupun tertinggal di antara orang lain. Ia adalah orang biasa, tapi ia juga seorang lelaki yang istimewa.
Ia adalah Ubai bin Ka’ab. Suatu ketika Rasulullah pernah memanggil dan mengatakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada Ubai bin Ka’ab. “Wahai Ubai bin Ka’ab, saya dititahkan Allah untuk menyampaikan Al Qur’an kepadamu,” kata Rasulullah.
Mendengar hal itu, Ubai bin Ka’ab merasa Rasulullah hanya berseloroh. Ia tahu Rasulullah di utus ke muka bumi ini untuk menyampaikan wahyu. Tapi sepintas, dalam hatinya terlintas rasa mendesir luar biasa, apakah Allah benar-benar memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan isi Qur’an secara khusus kepadanya? Demikian hantinya bertanya.
“Ya Rasulullah, ibu dan bapakku menjadi tebusan bagimu, apakah kepadamu disebutkan namaku?” Akhirnya Ubai bin Ka’ab pun melontarkan pertanyaan yang menggelitik dalam hatinya.
“Benar, namamu dan keturunanmu berada di tingkat derajat yang tinggi,” kata Rasulullah menjawab pertanyaan Ubai bin Ka’ab. Seketika, hati Ubai berbunga-bunga seperti meledak. Bagaimana tidak, begitu banyak kaum muslim dan namanya menjadi salah satu nama yang disebut secara khusus.
Ubai bin Ka’ab, adalah salah seorang sahabat Anshar yang berasal dari Bani Khazraj. Di kalangan kaum muslim yang tinggal di Madinah saat itu, nama Ubai bin Ka’ab termasuk salah satu sahabat utama Rasulullah. Ia juga seorang yang mengikuti perjanjian Aqabah serta menyertai Rasulullah turun ke medan laga paling akbar dalam sejarah Islam, perang Badar.
Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang sahabat penulis wahyu. Setiap kali wahyu disampaikan oleh Rasulullah, ia bertugas mengabadikan dan mencatatnya. Di atas batu, pada daun-daunan dan apa saja yang bisa digoreskan menjadi sebuah tulisan. Ubai bin Ka’ab juga terkenal sebagai salah seorang sahabat penghafal Al Qur’an terkemukan di antara para sahabat lainnya. Ingatannya yang kuat, usahanya yang keras mengumpulkan Al Qur’an menjadikannya mempunyai posisi tersendiri dalam umat Islam kala itu.
Keahliannya menjaga hafalan dan mengumpulkan ayat demi ayat wahyu yang turun, membangun Ubai bin Ka’ab menjadi seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi. Ada satu peristiwa penting yang berhasil dicatat tentang ketinggian ilmu Ubai bin Ka’ab.
Suatu hari Rasulullah bertanya kepadanya, “Ya Abul Munzir, ayat manakah dari kitabullah yang paling teragung?” demikian Rasulullah bertanya sambil menyebut nama panggilannya.
“Allah dan rasul-Nya saja yang paling mengetahui semuanya,” kata Ubai pada Rasulullah. Tapi kemudian Rasulullah mengulangi lagi pertanyaanya tadi sebagai isyarat bahwa Ubai bin Ka’ab memang harus benar-benar menjawab.
Ubai merenung dan menundukkan kepala sebentar. Tak lama ia mengangkat dagu dan berakata dengan tegas, “Allah tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup serta Maha Pengatur.” (QS. Al Baqarah: 255)
Mendengar jawaban Ubai bin Ka’ab, Rasulullah menepuk-nepuk dadanya sebagai pernyataan kagum. “Selamat padamu Abul Munzir, atas ilmu yang kamu capai,” puji Rasulullah. Dalam obrolan ini tertangkap betapa suasana akrab dan sangat bersahabat, tak ada jarak antara Rasulullah dengan Ubai bin Ka’ab. Ia panggil Ubai bin Ka’ab dengan panggilan Abu Munzir yang dalam tradisi Arab sebagai panggilan yang sangat bersahabat sekaligus penghormatan. Rasulullah menepuk-nepuk dada Ubai bin Ka’ab sebagai tanda rasa kagum yang sangat. Jika seperti ini, tentulah Ubai bin Ka’ab mendapat tempat tersendiri dalam hati nabi penghulu zaman itu.
Kedekatannya dengan Rasulullah inilah yang membangun karakter Ubai bin Ka’ab menjadi seorang yang kuat dan sangat meneladani perilaku Rasulullah. Perilaku inilah yang membuat Ubai bin Ka’ab menjadi salah seorang sahabat yang istimewa dalam kehidupan di Madinah kala itu. Tak seorangpun yang tak memasang perhatian jika Ubai bin Ka’ab memberikan petuah dan berkata-kata.
Ubai bin Ka’ab adalah seorang sahabat yang terkenal selalu memilih masalah-masalah inti dalam hidupnya. Misalnya saja, ia tak tergiur dan tergoda oleh gemerlap kehidupan dunia, karena bagianya hakikat hidup bukan itu. “Sesungguhnya makanan manusia bisa dijadikan gambaran dan perumpamaan bagi dunia. Seenak apapun barang yang dimakan, atau sebaliknya itu tak penting. Yang penting adalah, menjadi apa nantinya,” demikian katanya jika ditanya tentang arti hidup sesungguhnya.
Ia adalah seorang yang berbahasa dengan bahasa yang sederhana, tak muluk-muluk dan sangat mudah diterima. Tapi lain lagi jika ia sudah membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an di hadapan orang-orang. Suara dan nada yang dilantunkannya menggetarkan hati setiap yang mendengar bacaan Al Qur’an yang keluar dari bibirnya. Sendi-sendi tulang mereka seakan lemas mendengar Ubai bin Ka’ab yang sedang membacakan lagi wahyu-wahyu yang menyegarkan bumi.
Tapi ada satu ayat yang jika Ubai bin Ka’ab membacanya bumi seakan berduka, hati-hati tersayat dan air mata bercucuran. “Katakanlah, Dia kuasa mengirimkan siksa pada kalian baik dari atas atau dari bawah kaki kalian, dan membaurkan kalian dalam golongan yang terpecah-pecah, serta ditimpakannya kepada kalian perbuatan kawan sendiri.” (QS. Al An’am: 65)
Inilah yang membuat hati Ubai pun tercabik-cabik. Ia tak ingin umat ini terpecah-pecah dan karena tidak ada ukhuwah. Setelah Rasulullah meninggal dunia, Ubai bin Ka’ab seolah menjadi prasasti pengingat yang membuat semua orang tak ingin terpecah-pecah. Ubai bin Ka’ab selalu mengingatkan saudara-saudara dan sahabat yang lainnya untuk tak terpisah-pisah dan tetap bersatu menjaga ukhuwah.
“Selagi Rasulullah masih bersama kita, kita mempunyai tujuan yang sama, niat yang satu. Tapi setelah beliau pergi meninggalkan kita, tujuan kitapun berbeda-beda. Ada yang ke kiri, ada pula yang ke kanan,” demikian Ubai selalu mengingatkan para sahabat yang lain.
Saat wilayah muslim mulai meluas, Ubai melihat semakin banyak pula penyelewengan dan perpecahan yang terjadi, dan ini sangat membuat hatinya bersedih. Hal ini yang membuatnya bersikap keras dan tegas pada orang-orang yang melakukan penyelewengan, “Celakalah, demi Allah mereka celaka dan mencelakakan. Aku tak menyesal dengan nasib mereka, hanya sangat aku sayangkan, banyak kaum muslim yang celaka karena perbuatan mereka.”
Ubai bin Ka’ab selalu memberikan peringatan, bahwa setiap orang adalah pemimpin dan janganlah berbuat sembarangan. Karena di belakang mereka ada orang-orang yang dipimpin, dan jika mereka tak cermat umat pasti akan celaka.
Kini betapa banyak dari tokoh-tokoh muslim menjadi orang yang dulu selalu dikecam oleh Ubai bin Ka’ab. Mereka celaka dan mencelakakan. Semoga Allah menolong kita.