Islam tidak menggantungkan kehidupan para pemeluknya pada pemberian. Karena sistem Islam adalah mempermudah pekerjaan dan sumber rezki bagi setiap yang mampu bekerja, distribusi kekayaan sesuai benar, dan keadilan antara usaha dan kompensasi. Tetapi ada kondisi emergensi yang harus ditangani dengan sedekah. Baik berupa sedekah wajib yang dihimpun negara yang menerapkan syariat Allah, atau berupa sedekah sunnah tak terbatas yang diberikan orang yang mampu kepada orang yang membutuhkan, dengan tetap dijaga etika-etika yang telah dijelaksan.
Bukhari meriwayatkan dari Atha bin Yasar dan Abdurrahman bin Abu ‘Amrah, keduanya berkata: Kami mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda, “Yang disebut orang miskin itu bukan orang yang cukup diberi satu atau dua butir kurma lalu pulang, dan tidak pula satu atau dua suap. Tetapi, orang miskin itu adalah orang yang menjaga diri.” Kalau mau, silakan baca firman Allah: “Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (273) Dan masih banyak lagi hadits yang menjelaskan makna yang sama.
Islam adalah sistem yang komplementer. Semua nash, arahan, dan aturannya bekerja secara sinergis. Ia tidak bisa diambil sebagian-sebagian dan terpisah-pisah. Ia bekerja secara serentak, dan seperti itulah Islam membangun masyarakatnya yang unik dan tidak pernah diketahui padanannya pada masyarakat-masyarakat dunia lainnya.
Wajah lain yang kontras dengan sedekah adalah wajah yang masam dan tidak baik, yaitu wajah riba. Bila sedekah merupakan manifestasi hati yang lapang, kesucian, kerjasama dan solidaritas, maka riba adalah manifestasi sifat pelit, hati yang kotor, egoisme dan individualisme. Sedekah adalah merelakan harta tanpa pengganti dan imbalan, sedangkan riba adalah menagih hutang dengan disertai selisih tambahan yang haram dan diambil dari tenaga atau daging orang yang berhutang.
Karena itu, konteks menjelaskan riba secara langsung sesudah memaparkan wajah yang baik, toleran, suci, baik, dan penuh cinta! Konteks menghadirkan riba dalam bentuk yang menjijikkan. Ia membongkar keburukan yang ada dalam praktik riba, kekerasan hati, kejahatan sosial, dan kerusakan di muka bumi dan kehancuran umat manusia.
Sistem Islam dan sistem riba tidak memiliki bertemu dalam satu persepsi, dasar, dan hasil. Masing-masing berdiri pada persepsi terhadap keh, tujuan dan sasaran yang bertolak belakang secara sempurna, dan masing-masing akan mencapai hasil yang benar-benar berbeda.
Islam membangun sistem ekonominya—dan juga sistem kehidupan seluruhnya—di atas persepsi yang merefleksikan kebenaran yang hakiki di dalam wujud ini, yaitu bahwa Allah adalah Pencipta dan pemilik alam semesta ini—termasuk manusia. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, membekalinya dengan rezki dan potensi yang tersimpan di dalamnya, untuk didayagunakan sesuai dengan perjanjian dan syarat dari Allah. Allah tidak membiarkan manusia menggunakan kekuasaan sesuka hati, melainkan harus sesuai manhaj dan syari’at Allah.
Jadi, hakimiyyah di bumi dan di alam semesta ini adalah milik Allah semata. Sementara manusia—baik penguasa atau rakyat—itu kekuasaan mereka bersumber dari implementasi syari’at dan manhaj Allah.
Di antara isi perjanjian ini adalah solidaritas di antara orang-orang mukmin, dan memanfaatkan rezki Allah dengan prinsip solidaritas—bukan sosialisme tulen seperti yang disuarakan marxisme, melainkan kepemilikan individual yang terbatas.
Selain itu, Allah juga menetapkan syarat moderat dan tidak berlebihan dalam membelanjakan rezki pemberian Allah dan menikmati hal-hal baik yang halal. Dari sini, kebutuhan konsumtif mereka terhadap harta dan hal yang baik itu tidak keluar dari batas moderat, dan kelebihanya itu bisa disalurkan untuk zakat dan sedekah.
Allah juga mensyaratkan mereka untuk mengembangkan kekayaan mereka dengan cara-cara yang tidak mengganggu orang lain dan tidak menghentikan perputaran kekayaan di antara hamba-hamba Allah dengan skala yang paling luas. Allah juga mewajibkan mereka untuk bersih niat, cara dan tujuan.
Dari sini, riba merupakan praktik yang sejak awal bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan dan sama sekali tidak memperhatikan prinsip, tujuan, dan moral yang diinginkan Allah bagi manusia. Sejak awal dasar riba adalah tidak ada hubungan antara keinginan Allah dan keh manusia, karena manusia adalah tuan di bumi ini.
Setiap individu memiliki kebebasan cara untuk memperoleh harta, mengembangkannya, dan menikmatinya, tanpa terikat oleh satu perjanjian atau syarat dari Allah, serta maslahat orang lain. Terkadang hukum positif memasuki wilayah kebebasan individu—secara parsial—untuk menetapkan suku bunga misalnya, tetapi campur tangan ini bermuara kepada hawa nafsu mereka, bukan para prinsip yang konstan dari Allah! Riba juga berpijak pada prinsip yang keliru, yaitu bahwa tujuan keberadaan manusia adalah menumpuk kekayaan—dengan cara apapun, dan menikmatinya menurut selera!
Kemudian, pada akhirnya riba menghasilkan sebuah sistem yang menyengsarakan manusia, meruntuhkan moral dan psikologis, menciptakan ketidak-seimbangan dalam perputaran kekayaan dan perkembangan ekonomi, dan pemusatan kekuasaan eksekutif pada tangan kelompok manusia yang amat nista dan jahat.
Mereka tidak hanya memiliki kekayaan, tetapi juga kekuasaan. Tetapi, karena tidak punya prinsip, moral, dan persepsi keagamaan atau etis sama sekali, maka sudah barang tentu mereka menggunakan kekuasaan ini untuk menciptakan sistem, pemikiran, dan undang-undang yang memungkinkan mereka meningkatkan eksploitasi. Cara paling mudah adalah merusak moral manusia dan menjatuhkannya pada kubangan kenikmatan dan syahwat, yang harus dibayar dengan uang sehingga nilainya jatuh!
Bencana yang terjadi saat ini adalah para rentenir itu dengan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki—baik pada aspek jurnalisme, penerbitan, universitas, dan lain-lain—menciptakan logika massa mayoritas masyarakat miskin yang digerogoti para rentenir itu. Logika massa ini tunduk kepada bisikan berancun bahwa bunga merupakan sistem yang natural dan logis, serta fondasi yang benar bagi pertumbuhan ekonomi, dan bahwa di antara berkah dan kebaikan bunga adalah kemajuan peradaban Barat. Orang-orang yang ingin menyingkirkannya adalah satu kelompok utopis—bukan praktisi—yang memandang dari sudut teori-teori moral dan idealita imajinatif yang tidak riil.
Sesungguhnya sistem riba merupakan sistem yang cacat dari sisi ekonomi murni. Sedemikian buruknya hingga para apakar ekonom Barat sendiri yang membeberkannya. Sebut saja Hjalmar Schacht, mantan direktur bank Reichsbank. Pada tahun 1953 di Damaskus, ia menyatakan,
“‘Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Bukan ini saja kejahatan sistem riba, karena ia juga membuat hubungan antara pemodal dan pekerja dalam perdagangan dan industri itu sebagai hubungan perjudian dan pertengkaran yang terus menerus. Rentenis berusaha keras meraup bunga sebesar mungkin. Karena itu, ia menahan modal hingga kebutuhan perdagangan dan industri terhadapnya semakin meningkat, sehingga meningkat pula suku bunganya. Saat itu volume modal yang disalurkan pada sektor riil menurun, pabrik-pabrik menyempitkan wilayah produksinya, terjadi PHK besar-besaran, sehingga daya beli pun menurun.
Ketika masalahnya sampai pada batas ini, maka para rentenir itu kembali menurunkan suku bunga secara terpaksa, lalu para praktisi industri dan perdagangan meresponnya lagi dan siklus kehidupan pun kembali baik. Demikian seterusnya.
Dalam tafsir ini kami tidak bermaksud mengkaji setiap catat pada sistem riba. Kami hanya ingin mengingatkan kepada orang-orang yang ingin menjadi muslim akan sejumlah hakikat tentang penolakan Islam terhadap sistem riba:
Pertama, Islam tidak pernah berdampingan dengan sistem riba. Kalau ada yang mengatakan demikian, meskipun dia juru fatwa dan agamawan, maka itu bohong. Karena persepsi Islami itu berbenturan langsung dengan sistem riba dan akibat-akibat praktisnya dalam kehidupan, persepsi, dan akhlak manusia.
Kedua, sistem riba merupakan bencana bagi umat manusia—bukan hanya dari sisi akidah, moral dan persepsinya terhadap kehidupan, tetapi juga terhadap inti kehidupan ekonomi mereka.
Ketiga, sistem moral dan aturan kerja dalam Islam itu terkait sepenuhnya. Ekonomi Islam yang sukses tidak bisa dicapai tanpa moral, dan moral bukan anjuran yang bisa ditinggalkan dalam meraih kehidupan praktis manusia yang sukses.
Keempat, transaksi riba itu pasti merusak rasa seseorang dan moralnya terhadap saudaranya, dan bahkan merusak kehidupan jama’ah lantaran kerakusan dan egoisme yang ditimbulkannya. Di masa sekarang, riba dianggap sebagai motivator pertama untuk mengarahkan modal kepada cara eksplorasi yang paling rendah. Karena itu, riba menjadi faktor langsung investasi modal di bidang perfilman yang tidak bermoral, klub-klub malam, dan berbagai proses yang menghancurkan moral manusia.
Kelima, Islam merupakan sistem yang komplementer. Ketika ia mengharapkan transaksi riba, maka berarti Islam telah mendirikan seluruh sistemnya pada fondasi ketidak-butuhan terhadap riba, dan mengatur sisi-sisi kehidupan sosial hingga bebas dari kebutuhannya terhadap transaksi model ini, tanpa merusak pertumbuhan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang berjalan konstan.
Keenam, manakala Islam diberi kesempatan menghatur kehidupan sesuai persepsi dan manhajnya yang khusus, maka Islam—pada waktu meniadakan transaksi riba—tidak perlu membekukan lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang dibutuhkan bagi perkembangan kehidupan ekonomi modern secara natural dan sehat. Tetapi, Isalm akan membersihkannya dari kotoran riba, lalu membiarkannya bekerja sesuai kaidah-kaidah lain yang bersih. Di antara lembaga dan instansi tersebut adalah lembaga perbangkan, perseroan, dan lembaga-lembaga ekonomi modern lainnya.
Ketujuh, keharusan seorang muslim untuk meyakini kemustahilan Allah mengharamkan sesuatu yang tanpanya kehidupan manusia tidak bisa berdiri dan maju! Kemustahilan adanya sesuatu yang busuk dan pada waktu yang sama menjadi kenisyaan bagi keberlangsungan dan kemajuan hidup. Yang demikian itu merupakan persepsi yang salah, pemahaman yang keliru, dan propaganda keji yang senantiasa menebarkan pemikiran bahwa riba merupakan syarat mutlak kemajuan ekonomi dan kemakmuran.
Kedelapan, persepsi bahwa ekonomi dunia pada hari ini dan besok tidak dapat berdiri di atas prinsip selain prinsip riba merupakan mitos belaka, atau merupakan kebohongan besar karena sarana-sarana yang digunakan para pemilik kepentingan untuk mempertahankan riba itu adalah sarna yang benar-benar besar. Ketika niatnya lurus dan umat manusia—atau umat Islam—bertekad untuk merebut kebebasannya dari cengkraman sistem riba internasional, serta menginginkan kebaikan, kebahagiaan, berkah, akhlak yang baik dan masyarakat yang bersih, maka terbuka peluang untuk menegakkan sistem yang dikehendaki Allah ini.
Di sini bukan tempatnya untuk merinci metode dan sarana aplikasinya, tetapi cukup memberi isyarat secara garis besar. Telah terbukti bahwa bobroknya praktik riba itu bukan merupakan suatu keharusan dalam ekonomi, dan bahwa manusia yang dahulu menyimpang dari jalan yang lurus lalu Islam mengembalikannya ke jalan yang lurus itu adalah manusia yang sama dengan yang menyimpang pada hari ini. Maka, marilah kita melihat bagaimana revolusi Islam menangani kebobrokan yang bencananya tidak pernah dirasakan manusia seperti sekarang ini.