مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7) لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (8)
Semua umat, termasuk pemimpin tertinggi, tidak punya hak untuk menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul. Apabila mereka menetapkan aturan yang bertentangan dengannya, maka aturan tersebut tidak memiliki kekuatan, karena ia kehilangan sandaran pertama yang menjadi sumber kekuatan tersebut. Teori ini berlawanan dengan semua teori manusia yang bersifat positif, berikut aspek yang menjadikan bangsa sebagai sumber kekuasaan. Dengan arti bahwa sebuah bangsa itu berhak membuat aturan bagi dirinya menurut yang mereka sukai.
Semua aturan yang mereka buat itu memiliki kekuatan. Sedangkan sumber kekuasaan dalam Islam adalah syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sementara umat bertugas untuk mengikuti, menjaga dan menerapkan syari’at tersebut. Imam atau pemimpin tertinggi adalah wakil dari umat dalam tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, hak-hak umat terbatasi. Mereka tidak berhak melawan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam membuat aturan.
Ketika tidak ditemukan nash di dalam apa yang dibawa oleh Rasul SAW mengenai suatu perkara khusus yang dihadapi umat, maka solusinya adalah membuat aturan yang tidak melanggar salah satu prinsip yang dibawa oleh Rasul SAW. Hal ini tidak melanggar teori tersebut. Aturan ini hanya merupakan cabang darinya, karena patokan dalam membuat aturan adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul SAW jika ada nash, serta tidak melanggar salah satu prinsipnya ketika tidak ada nash.
Kekuasaan umat dan imam sebagai wakilnya terbatas di dalam batasan-batasan ini. Ia merupakan sistem yang unik, tidak tertandingi oleh hukum positif yang dikenal umat Islam. Ia adalah sistem yang menghubungkan aturan bagi manusia dengan anturan alam semesta, dan menyerasikan antara hukum alam yang diciptakan Allah dan hukum yang mengatur manusia yang berasal dari Allah. Hal itu agar hukum manusia tidak berbenturan dengan hukum alam semesta. Karena jika demikian maka manusia akan sengsara, atau hancur lebur, atau usahanya sia-sisa!
Ayat yang kita kaji ini menghubungkan kedua prinsip tersebut di hati orang-orang mukmin dengan sumbernya yang pertama, yaitu Allah. Ayat tersebut mengajak mereka untuk bertakwa, dan menakuti-nakuti mereka akan sanksi Allah. “Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” Inilah jaminan terbesar yang tidak bisa dihindari. Orang-orang mukmin tahu bahwa Allah melihat apa yang ada dalam hati dan mengetahui berbagai amal perbuatan. Kepada-Nya-lah segala sesuatu dikembalikan. Mereka juga tahu bahwa Allah itu sangat keras hukuman-Nya. Mereka tahu bahwa mereka dibebani untuk menjadikan harta kekayaan itu tidak beredar di antara kalangan tertentu saja, menerima apa yang dibawa oleh Rasul SAW dengan ridha dan taat, dan menjauhi apa yang beliau larang tanpa menyepelekan dan tanpa meringankan. Di hadapan mereka ada suatu hari yang amat sulit…
Pendistribusian fai’ Bani Nadhir kepada orang-orang Muhajirin saja, selain dua orang Anshar, merupakan kebijakan khusus terkait fai’ ini, untuk merealisasikan prinsip “agar tidak beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian”. Sedangkan hukum umumnya adalah fai’ tersebut milik semua orang fakir, baik Muhajirin atau Anshar, serta generasi-generasi sesudah mereka. inilah yang terkandung dalam ayat-ayat berikutnya dalam rangkaian surat.
Tetapi Al-Qur’an tidak menyebutkan hukum-hukum secara kering dan abstrak, melainkan mengemukakannya dalam suasana yang hidup dan berinteraksi dengan orang-orang yang hidup. Dari sini, Al-Qur’an menyebut setiap kelompok di antara ketiga kelompok tersebut dengan sifat-sifatnya yang riil dan hidup serta menggambarkan watak dan hakikatnya; serta menetapkan hukum itu dalam keadaan hidup dan berinteraksi dengan orang-orang yang hidup:
“(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Ini adalah gambaran yang benar, yang menampilkan karakter terpenting para sahabat Muhajirin: mereka diusir dari kampung halaman mereka, dan meninggalkan harta benda mereka. Mereka dipaksa untuk keluar dengan penganiayaan, tekanan dan ancaman dari kerabat dan keluarga mereka di Makkah, bukan karena dosa selain mereka mengatakan: rabb kami adalah Allah..Mereka keluar dengan meninggalkan kampung halaman dan harta benda mereka. “(Karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya)..” mereka bersandar pada Allah dalam mencari karunia dan ridha-Nya. Tidak ada tempat berlindung bagi mereka selain Allah. Meskipun mereka terusir dan jumlah merekakecil, namun mereka tetap “menolong Allah dan Rasul-Nya”. Dengan hati dan pedang mereka, pada saat-saat yang paling kritis dan sulit. “Mereka itulah orang-orang yang benar.” Orang-orang yang mengikrarkan iman dengan lisan, lalu membuktikannya dengan perbuatan. Mereka itulah orang-orang yang jujur kepada Allah bahwa mereka memilih-Nya, dan jujur kepada Rasulullah SAW bahwa mereka mengikutinya, dan jujur terhadap kebenaran bahwa mereka adalah bentuk dari kebenaran yang berjalan di muka bumi dan dilihat oleh manusia!