مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7) لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (8)
Inilah kepada fai’ yang dijelaskan ayat tersebut. Tetapi, ia tidak terbatas pada hukum dan alasannya yang dekat. Sebaliknya, ia membuka hati untuk melihat sebuah hakikat lain yang besar: “Tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS Al-Hasyr [59]: 6) Ini adalah kekuasaan Allah, dan kekuasaan ini diberikan-Nya kepada pada siapa saja yang dikehendaki-Nya. “Dan Allah Mahakuasa atas setiap sesuatu.” (QS Al-Hasyr [59]: 6)
Dengan demikian, tugas para Rasul itu terkait langsung dengan ketetapan Allah; tempat mereka telah ditetapkan dalam roda takdir yang terus berputar. Terlihat bahwa meskipun mereka adalah manusia biasa yang terhubung dengan kehendak dan kemauan Allah secara khusus, namun mereka diberi peran tertentu dalam mewujudkan ketetapan Allah di muka bumi, dengan ijin dan takdir-Nya. Jadi, mereka tidak bergerak menurut kemauan mereka, serta tidak mengambil atau meninggalkan sesuatu untuk kepentingan mereka. Mereka tidak berperang atau duduk, tidak berselisih atau berdamai, kecuali untuk mewujudkan satu sisi dari takdir Allah di bumi ini, selaras diri, tindakan dan gerak mereka di muka bumi. Allah-lah pelaku di balik itu semua. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Ayat ini menjelaskan hukum yang telah yang telah kita bahas di atas secara rinsi. Kemudian, ayat tersebut memberi alasan dari pembagian tersebut, dengan meletakkan satu kaidah besar di antara kaidah-kaidah sistem ekonomi dan sosial di tengah masyarakat Islam. Kaidah tersebut adalah: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Sebagaimana ayat tersebut meletakkan sebuah kaidah besar dalam legilasi perundangan-undangan bagi masyarakat Islam, yaitu: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” Meskipun kedua kaidah tersebut hadir dalam konteks harta fai’ dan pembagiannya, namun keduanya melewati batas peristiwa dan menjangkai bayak dimenasi dalam berbagai dasar sistem sosial yang Islami.
Prinsip pertama, yaitu prinsip sistem ekonomi, merefleksikan satu dimensi yang besar dari dasar-dasar teori ekonomi dalam Islam. Karena dalam teori ini kepemilikan pribadi diakui, namun ia dibatasi dengan teori ini. Kaidahnya adalah agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja, tertutup jalan untuk beredar di antara orang-orang fakir. Setiap tatanan yang puncaknya adalah peredaran kekayaan di antara orang-orang kaya saja merupakan tatanan yang bertentangan dengan teori ekonomi Islam, sebagaimana ia bertentangan dengan salah satu tujuan organisasi sosial. Semua hubungan dan interaksi dalam masyarakat Islam harus diatur agar tidak menciptakan kondisi semacam ini, atau mempertahannya jika telah ada.
Islam benar-benar membangun sistemnya di atas fondasi ini. Karena itulah Islam mewajibkan zakat, yaitu sebesar 2.5 % dari harta pokok yang bersifat moneter, dan 10 % atau 5% dari hasil yang lain, seperti binatang ternak. Islam menetapkan besaran yang sama untuk harta rikaz, yaitu harta dari perut bumi. Itu merupakan prosentase yang besar. Selain itu, Islam juga menetapkan empat perlima dari harta pampasan perang untuk para mujahid, baik kaya atau miskin; dan menetapkan seluruh fai’ untuk orang-orang fakir. Islam juga menetapkan sistemnya dalam penyewaan lahan, yaitu muzara’ah yang tujuannya adalah kerjasama untuk memperoleh hasil antara pemilik tanah dan pengelola tanah. Islam juga memberi hak kepada imam (pemimpin tertinggi) untuk mengambil kelebihan harta dari orang-orang kaya untuk didistribusikan kepada orang-orang fakir; atau mengambil sebagian dari harta orang-orang kaya ketika baitul mal kehabisan simpanan. Islam juga mengharamkan penimbunan dan melarang riba. Kedua praktik tersebut merupakan faktor utama beredarnya kekayaan di antara orang-orang kaya saja.
Secara garis besar, Islam mendirikan sistem ekonominya secara keseluruhan dengan tujuan untuk merealisasikan prinsip terbesar yang dianggap sebagai aturan orisinil mengenai kepemilikan individu, disamping aturan-aturan lainnya.
Dari sini, sistem Islam merupakan sistem yang menghargai kepemilikan individu, tetapi ia bukan merupakan sistem kapitalis. Sebagaimana sistem kapitalis bukan diambil darinya. Karena sistem kapitalis sama sekali tidak bisa berdiri tanpa praktik riba dan penimbunan. Sistem Islam merupakan sistem khusus dari Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia berjalan sendiri, dan bertahan sendiri hingga hari ini sebagai sebuah sistem yang unik, seimbang dimensi-dimensinya, seimbang antara hak dan kewajiban, serta harmoni seperti harmoninya alam semesta, sejak ia turun dari Pencipta alam semesta. Dan memang alam semesta ini serasi dan seimbang!
Adapun prinsip kedua adalah menerima aturan dari dari satu sumber: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” Ayat ini juga merepresentasikan teori perundangan-undangan Islam. Karena undang-undang dalam Islam bersumber dari apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, baik Al-Qur’an atau Sunnah.