إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ketika manusia—atau satu kelompok dari mereka—merespon perkataan ini, maka masyarakat Muslim telah memulai langkah pertamanya dalam tangga eksistensi. Pada kesesatan itu, masyarakat tersebut menjadi wahana yang konkret dan hidup, dimana fikih Islam yang hidup bisa tumbuh dan berkembang untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tunduk kepada syari’at Allah tersebut.
Adapun sebelum masyarakat ini berdiri, maka usaha di bidang fikih dan hukum-hukum pemerintahan itu hanyalah menipu diri sendiri, dengan mengharapkan tumbuhnya benih di udara. Fikih Islam tidak akan tumbuh dalam kehampaan, sebagaimana benih tidak akan tumbuh di udara!
Sesungguhnya upaya di bidang pemikiran fikih Islam merupakan upaya yang merilekskan! Karena tidak ada bahaya di dalamnya! Tetapi, itu bukan merupakan amal untuk Islam, dan bukan merupakan bagian dari manhaj dan watak agama ini! Orang-orang yang mengharapkan hidup rileks dan selamat itu lebih baik sibuk di dunia sastra dan seni, atau bisnis! Sedangkan kesibukan dalam bidang fikih dalam kondisi sedemikian rupa dalam kapasitasnya sebagai perjuangan Islam di masa ini, menurutku—Allah Mahatahu—hanya menghabiskan umur dan juga biaya!
Sesungguhnya agama Allah itu menolak untuk sekedar tunduk dan tak berdaya, untuk sekedar menjadi pelayan yang patuh guna melayani masyarakat jahiliyah yang lari darinya dan mengingkarinya. Masyarakat yang menghina Islam dari waktu ke waktu dengan meminta fatwa kepadanya mengenai berbagai problematika dan kebutuhannya, namun ia tidak tunduk kepada syari’at dan kekuasaannya.
Sesungguhnya agama ini adalah hukum-hukumnya tidak muncul tumbuh dalam kehampaan, dan tidak bekerja pada kekosongan. Sesungguhnya masyarakat Muslim yang tunduk kepada kekuasaan Allah sejak awal itulah yang menciptakan fikih, bukan fikih yang menciptakan masyarakat tersebut.
Langkah-langkah pertumbuhan Islam dan fase-fasenya itu selamanya hanya satu; dan peralihan dari jahiliyah kepada Islam itu selamanya tidak pernah mudah dan ringan. Ia tidak pernah dimulai dari merumuskan hukum-hukum fikih dalam kekosongan, agar menjadi media yang siap pada waktu masyarakat Islam dan pemerintahan Islam berdiri. Keberadaan hukum-hukum yang terpereinci secara “instan” dan muncul dalam kekosongan itu tidak akan menjadi titik awal perubahan dari jahiliyah kepada Islam. Dan yang meruntuhkan masyarakat-masyarakat jahiliyah ini agar berubah kepda Islam itu bukan hukum-hukum fikih yang “instan”! Kerumitan dalam proses perubahan itu tidak muncul dari ketidak-mampuan hukum-hukum fikih Islam saat ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang berkembang, serta hal-hal lain dengannya sebagian dari mereka menipu, dan sebagian yang lain tertipu!
Tidak demikian! Sesungguhnya yang menghalangi proses perubahan masyarakat jahiliyah ini kepada sistem yang Islami adalah keberadaan para thaghut yang menolak hakimiyyah bagi Allah; sebagai mereka menolak rububiyyah dalam kehidupan manusia dan uluhiyyah di muka bumi bagi Allah semata. Dengan demikian, para thaghut itu telah keluar dari Islam secara total. Ketetapan hukum mengenai hal ini termasuk perkara yang diketahui dari agama secara serta merta. Selain itu adalah keberadaan massa manusia yang menyembah para thaghut itu selain menyembah Allah—maksudnya tunduk, patuh, dan mengikuti, sehingga dengan demikian mereka menjadikan tuhan-tuhan beragam yang disembah dan ditaati. Massa ini telah mengeluarkan ibadah dari tauhid kepada syirik. Inilah makna syirik yang paling khusus dalam pandangan Islam.
Dengan itu semua, jahiliyah berdiri sebagai sebuah sistem di muka bumi; dan bersandar pada kesesatan konsepsi, seperti halnya ia bersandar pada kekuatan materi.
Kalau begitu, perumusan hukum-hukum fikih itu tidak bisa mengahdapi jahiliyah ini dengan sarana-sarana yang memadai. Sesungguhnya yang bisa menghadapinya adalah dakwah untuk mengajak masuk Islam sekali lagi; dan pergerakan yang menghadapi jahiliyah dengan segala penopangnya; kemudian terjadilah apa yang terjadi pada setiap ajakan kepada Islam terhadap jahiliyah itu. Kemudian Allah akan memberi keputusan dengan haq antara orang-orang yang tunduk kepada Allah itu dan kaum mereka. Hanya pada saat itulah datang peran hukum-hukum fikih yang muncul secara alami di tengah media yang riil dan hidup ini. Ia menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil yang dinamis di tengah masyarakat yang baru ini, sesuai dengan kadar kebutuhan pada waktu itu, bentuknya, serta situasi dan kondisinya. Perkara-prkara tersebut berada dalam ruang ghaib—seperti yang kami katakan—dan tidak bisa diramalkan sebelumnya, dan tidak mungkin ditekuni sejak hari ini dengan kesungguhan yang sesuai dengan watak agama ini!
Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa hukum-hukum syar’i yang diredaksikan di dalam Kitab dan Sunnah itu tidak eksis saat ini dari sisi legalitasnya. Tetapi, hal ini hanya berarti bahwa masyarakat yang untuknya hukum-hukum tersebut disyari’atkan, dan yang di dalamnya hukum-hukum tersebut tidak diterapkan—bahkan hukum-hukum tersebut tidak bisa hidup kecuali dengannya—(masyarakat tersebut) tidak eksis saat ini. Dari sini, keberadaannya secara de facto terkait dengan berdirinya masyarakat tersebut. Dan komitmen terhadapnya tetap tergantung di leher setiap Muslim dari masyarakat jahiliyah tersebut. Dan setiap orang yang melakukan pergerakan dalam menghadapi jahiliyah guna mendirikan sistem yang Islami akan menghadapkan agama ini dengan jahiliyah, para thaghutnya yang menuhankan diri, dan massa yang tunduk kepada para thaghut dan merelakan persekutuan mereka dalam rububiyyah.
Inilah konsepsi pertumbuhan Islam yang konstan, bahwa setiap kali jahiliyah muncul maka muncul pula perjuangan Islam untuk menghadapinya. Konsepsi yang demikian merupakan titik permulaan aksi yang riil dan konstruktif untuk mengembalikan agama ini kepada eksistensinya, setelah ia terpupus sejak aturan-aturan manusia menggantikan syari’at Allah selama dua abad terakhir ini, dan menghapus eksistensi Islam yang hakiki dari muka bumi; meskipun masih ada menara adzan dan masjid, doa-doa dan ritual; yang memabukkan perasaan orang-orang yang masih memiliki loyalitas emosional yang semu terhadap agama ini; dan mengesankan kepada mereka bahwa agama ini dalam keadaan baik-baik saja, padahal sebenarnya ia telah terhapus sama sekali!
Sebelum ada ritual dan masjid, masyarakat Muslim pernah merasakan masa dimana manusia diseru: sembahlah Allah, tiada tuhan selain Dia. Lalu mereka pun menyembah-Nya, dan penyembahan mereka itu tidak terefleksi pada ritual, karena pada waktu itu ibadah-ibadah ritual belum diwajibkan. Penyembahan mereka mengambil bentuk kepatuhan kepada-Nya semata—dari segi prinsip, karena pada waktu itu syari’at belum diturunkan! Ketika orang-orang yang menyatakan patuh kepada Allah semata itu memiliki kekuasaan materiil di muka bumi, maka barulah turun syari’at. Dan ketika mereka menghadapi kebutuhan-kebutuhan hakiki bagi kehidupan mereka, maka mereka menyimpulkan sisa-sisa hukum fikih, selain hukum yang telah diredaksikan di dalam Kitab dan Sunnah.
Inilah jalan satu-satunya, tidak ada jalan lain.
Sementara orang mengharapkan adanya jalan yang mudah bagi perubahan masyarakat secara keseluruhan untuk berpihak kepada Islam sejak detik pertama dalam dakwah dengan lisan, dan dengan menjelaskan hukum-hukum Islam! Tetapi, itu hanya mimpi di siang bolong! Karena rakyat selamanya tidak bisa berubah dari jahiliyah dan penyembahan para thaghut kepada Islam dan penyembahan Allah semata kecuali dengan jalan yang panjang dan lambat yang dilalui dakwah Islam dalam setiap kesempatan. Yang dimulai oleh individu, kemudian diikuti oleh satu kelompok, kemudian kelompok ini bergerak menghadap jahiliyah untuk menghadapi siapa saja, hingga Allah membuat keputusan dengan haq antara kelompok tersebut dengan kaumnya, dan menguatkan kedudukan mereka di muka bumi. Kemudian, manusia akan memasuki agama Allah dengan berbondong-bondong. Agama Allah adalah manhaj, syari’at, dan sistem-Nya, dimana Allah tidak meridhai agama bagi manusia selain agama Islam. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Ali ‘Imran [3]: 85)
Semoga penjelasan ini mengungkapkan kepada kita hukum yang sebenarnya mengenai sikap Yusuf ‘alaihis salam.
Ia tidak hidup dalam sebuah masyarakat Muslim yang sesuai dengan kaidah larangan self-promotion di hadapan manusia dan mencari jabatan dengan cara self-promotion. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa situasi dan kondisi memungkinkannya untuk menjadi penguasa yang ditaati, bukan pelayan dalam tatanan jahiliyah. Dan hasilnya seperti yang diharapkannya, dimana dengan kekuasaannya ia mampu mendakwahkan agamanya dan menyebarkannya di masa pemerintahannya. Sejak saat itu al-’Aziz pun surut dan tenggelam sepenuhnya.